Matakatolik.Com - Organisasi Katolik Vox Populi Institute Indonesia atau Vox Point Indonesia menyelenggarakan diskusi politik Seri 4 secara daring yang bertajuk Akrobatik Parpol di Balik Revisi UU Pemilu, Sabtu, 13 Februari 2021.
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati dalam sambutannya saat membuka diskusi mempertanyakan sikap Partai Politikyang maju mundur dalam membahas revisi UU Pemilu. Menurutnya sejak awal banyak partai ngotot membahas revisi UU Pemilu namun pada akhirnya tiba-tiba menarik diri.
“Parpol yang sebelumnya setuju dengan pelaksanaan Pilkada di tahun 2022 dan 2023 tiba-tiba menginginkan Pilkada diadakan bersama dengan Pileg, Pilpres tahun 2024. Hal ini yang menjadi pertanyaan publik selama ini,” kata Handojo.
Handojo menjelaskan hal ini akan menjadi pekerjaan berat bagi KPU baik dari sisi teknis, administrasi, prosedur, waktu hingga soal ketatanegaraan. Apalagi kata Handojo perhelatan Pilpres 2019 menelan banyak korban, angkanya bahkan lebih dari 400 petugas.
“Kabar buruknya dipersatukannya perhelatan demokrasi adalah tampak sebagai pertimbangan dan strategi politik semata daripada administrasi negara,” tegasnya.
Sementara itu Direktur Indobarometer Muhammad Qodari menjelaskan revisi UU Pemilu terjadi hampir lima tahun sekali. Saat ini terdapat dua UU Pemilu yakni UU Pemilu (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Qodari membeberkan pembahasan revisi UU Pemilu (yang hampir lima tahun sekali) terjadi karena kepentingan politik. Menurutnya terdapat partai yang berusaha mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya.
“Jadi ada partai-partai menengah, atau partai-partai besar yang memperbesar kekuasaannya di Parlemen dengan cara konstitusional,” kata dia.
Ia menambahkan ada bermacam cara yakni dengan menaikkan parlemen threshold. Salah satu cara lain adalah mengecilkan jumlah kursi di daerah pemilihan (dapil). Karena itu kata dia yang terjadi merupakan sebuah pertarungan politik dan nanti yang terjadi adalah tawar menawar antara partai politik yang ingin menaikan parlemen threshold dan partai yang tidak.
“Kalau parlemen threshold Naik mereka (partai kecil) nanti keluar. Salah satu cara bertahan dari partai politik yang menengah dan kecil adalah dengan memasukkan pasal-pasal yang mengganggu atau merepotkan kepentingan-kepentingan partai besar,” kata Qodari.
Sementara itu Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau FORMAPPI Yulius Karus menegaskan revisi UU Pemilu perlu dilakukan karena begitu banyak catatan dan evaluasi. Karena itu kata Yulius akrobatik revisi UU Pemilu harus dikritisi.
“Kenapa harus dikritisi? Karena yang justru lebih ditonjolkan oleh DPR sebagai motivasi untuk merevisi UU itu bukan pertimbangan substantif dan mendasar,” kata Yulius.
Sebaliknya menurut Yulius yang justru menjadi perdebatan anggota DPR dalam pembahasan ini adalah soal waktu penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti. Hal ini kata dia bahkan berujung pada tidak memasukkan agenda revisi UU Pemilu dalam daftar RUU Prioritas 2021.
“Padahal ada begitu banyak catatan dan evaluasi yang mengindikasikan perlu adanya revisi terkait dengan UU Pemilu. Misalkan kerja penyelenggara pada 2019 lalu yang menyebabkan banyak korban. Saya kira itu harus menjadi pertimbangan untuk merevisi (UU Pemilu) agar hal yang sama tidak terjadi lagi,” beber Yulius.
Ia menilai parpol berupaya membuat perhitungan strategi pemenangan setelah RUU Baleg menetapkan RUU Pemilu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Keputusan RUU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas, kemudian langsung ditanggapi dengan berbagai manuver yang dilakukan parpol.
"Makanya masing-masing fraksi mulai melakukan perhitungan peluang yang mereka bisa peroleh dengan rencana RUU Pemilu. Termasuk melihat peluang menyatukan niat merevisi UU Pilkada sekaligus dalam UU Pemilu yang akan dilakukan," bebernya.
Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menjelaskan revisi UU Pemilu merupakan sebuah keharusan. Menurutnya proses revisi tersebutpun dapat dilakukan kapan saja baik saat ini atau setelah 2024 nanti.
“Menurut saya, mau tidak mau harus direvisi. Karena banyak sekali aturan-aturan yang dengan sendiri bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya akibat pengaturan dan pelaksanaanya tumpang tindih,” kata Ray Rengkuti.
Ia menambahkan kalaupun UU Pemilu direvisi sebaiknya tidak dilakukan dengan terburu-buru. Rai Rengkuti meminta agar perlu berkaca pada proses revisi UU yang efek negatifnya berdampak hingga saat ini yakni revisi UU KPK, UU MK, UU Minerba dan Omnibus Low.
“UU ini dilakukan dengan caraterburu-buru dengan tidak begitu banyak melibatkan partisipasi masyarakat sehingga efek yang cukup besar terhadap masyarakat,” kata dia.
Oleh karena itu kata Ray jika ingin membahas revisi UU (Pemilu) mesti dibahas dari sekarang. Dengan demikian punya waktu yang cukup panjang yakni tiga tahun untuk membahas bersama-sama sampai kemudian dipraktikkan di 2024.
“Tapi kalau mau ditunda, pembahasannya akan kita buat dengan waktu yang panjang (dari sekarang). Tidak mungkin 4 UU ini kita bahas dalam waktu yang sangat singkat yakni UU Pilpres, UU Pilkada, UU Penyelenggaraan Pemilu, terus juga dengan UU Legislatif.”
“Empat UU ini jika dibahas dengan waktu hanya setengah tahun itu hasilnya pasti tidak memuaskan. Terlepas dari kapanpun diberlakukan akan tetapi harus dimulai dari sekarang. Kita cicil saja,” tutupnya.
Matakatolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar