Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia(Polri) akan menggerakkan 4.520 personel keamanan, guna untuk mengamankan, pemimpin...
Solusi Untuk Anda!
Vox Point Gelar Webinar Tambang Rakyat Papua
Matakatolik.com-Organisasi Katolik Vox Populi Institute Indonesia (Vox Point Indonesia) menyelenggarakan seminar online yang bertajuk Tambang Rakyat di Papua Mengalir Sampai Jauh, Senin, 13 July 2020, Pukul 19.00-21.00 WIB. Direktur Utusan Khusus Papua Vox Point Indonesia Moses Morin menjelaskan Vox Point Indonesia merupakan salah satu organisasi yang sangat konsen dengan Papua.
“Ada banyak persoalan Papua, kami juga sangat konsen dengan berbagai persoalan di sana termasuk pertambangan rakyat,” kata dia dalam sambutannya.
Menurutnya tanah Papua merupakan tanah yang subur dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Tambang rakyat kata dia merupakan dasar modal guna untuk pembangunan daerah jika hal ini diperhatikan dengan sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
John R. N. Gobay, Sekretaris II Dewan Adat Papua memaparkan persoalan tambang rakyat pada dasarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Berdasarkan amatannya, tambang rakyat pada dasarnya sudah hadir sejak zaman Belanda yang tersebar di beberapa titik di Tanah Air. Ia merasa heran apabila saat ini pemerintah tidak melegalkan pertambangan rakyat tersebut.
“Pertambangan rakyat di Papua sudah bukan sesuatu yang baru, tetapi sesungguhnya pernah dilakukan jauh sebelumnya. Kelihatannya akhir-akhir ini kaku dan ketika rakyat membuka (tambang) dikatakan legal,” kata dia.
Ia menyoroti soal seringnya terjadi penggusuran pertambangan rakyat di tanah Papua. Padahal kata dia, tambang-tambang tersebut ditemukan oleh rakyat akan tetapi kemudian datang perusahaan untuk menggusur dan menduduki tanah rakyat.
“Saya katakan negara ini hanya untuk perusahaan. Sejatinya pemerintah itu pelayan rakyat bukan pelayan pengusaha. Sehingga rakyat bukan sapi perah, siapa yg merugikan negara. Negara bukan untuk pengusaha besar saja,” tegasnya.
Ia juga menyayangkan stigma yang diberikan kepada masyarakat yang melakukan pertambangan. Menurutnya stigma tersebut sangat keliru mengingat masyarakat adalah warga Negara Indonesia. Selain itu aparat juga turut bermain dan terlibat untuk mempersulit izin pertambangan rakyat.
“Sehingga jangan dibuat mereka seperti buronan yang harus dibenci dan menjadi target polisi. Pemerintah seharusnya melegalkan saja kegiataan pertambanagan menjadi pertambangan rakyat,” bebernya.
Sementara Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua, Frets. J Borai menjelaskan Wilayah Pertambangan telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dalam UU No. 3/2020, pasal 9, 10. Adapun Wilayah Pertambangan (WP) terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK).
Ia membeberkan hingga saat ini Provinsi Papua terus menerapkan kebijakan terkait WP termasuk WPR sesuai dengan UU yang berlaku. Dalam hal ini WP itu biasanya diusulkan kepada menteri yang kemudian akan mentetapkannya.
“Selanjutnya dilakukan peninjauanya yang berlangsung 5 tahun sekali. Maka kita harus minta pengesahan dari menteri, kita tidak bisa seenaknya memberlakukan aturan di daerah,” kata dia.
Ia mengharapkan agar kewenangan tersebut dikembalikan kepada gubernur karena memudahkan baik dari segi wilayah maupun masyarakat. Menurutnya hal itupun tidaklah mudah mesti menunggu lima tahun lagi agar bisa terealisasi.
Ia menilai pertambangan rakyat sulit dilakukan mengingat wilayah Papua sangat kompleks. Akses yang dijangkau sangat sulit sehingga butuh transportasi yang memadai seperti pesawat. Selain itu dalam mengelola tambang harus melibatkan banyak pihak.
Soal WPR Frits memberikan beberapa catatan diantaranya WPR Tidak memiliki Ijin Pertambangan serta tidak ada kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Terdapat begitu banyak kegiatan tambang yang sudah dilaksanakan dan dibuka begitu saja meskipun pemerintah belum melakukan WPR.
“Kegiatan penambangan rakyat telah menimbulkan banyak permasalahan dan juga mengalami kerugian, baik bagi pemerintah daerah, lingkungan maupun bagi para penambang sendiri,” kata dia.
“Gangguan sosial terjadi seperti krusuhan di wilayah pertambangan rakyat menyusul berkembangannya budaya premanisme, perjudian, prostitusi dan kemerosotan moral lainnya. Lingkungan hidup rusak,” imbuhnya.
Plt Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementrian ESDM, Sujatmiko menjelaskan total seluruh WPR yang menyebar di Tanah Air sejumlah 410.882 hektar. Berdasarkan data yang dijabarkannya Jawa Timur memiliki WPR terbanyak yakni 706 dengan luas lahan 19.561 hektar, Jambi berada di Posisi ke dua dengan jumlah WPR 363 tapi pemakaian lahan tertinggi sejumlah 66.341 hektar.
Posisi ketiga adalah Kalimantan tengah dengan jumlah WPR 227 dan lahan yang dipakai 35.080 hektar. Sementara di Papua sendiri hanya terdapat 45 WPR dengan pemakaian lahan 3.576 hektar.
Sujatmiko membeberkan agar masyarakat mendapatkan kesempatan menambang mesti melalui alur WBR. Dengan mengikuti mekanisme tersebut maka pemerintah akan mensupor WBR tersebut.
“Nah WBR diusulkan Gubernur Kepada Menteri maka menteri yang menetapkan. Maka menteri akan membantu eksplorasinya, membantu perencanaan pertambangannya, membantu pelaksanaan K3 dan K5 nya sehingga pertambangan rakyat disuport oleh Pemerintah,” kata dia.
Maka di sini Pemerintah perlu membantu rakyat atau usaha rakyat melalui WBR. Tambang rakyat juga tidak boleh tumpang tindih dari yang lain. Untuk itu masyarakat setempat mesti dibuktikan dengan penunjukan identitas seperti KTP.
“Ini jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak semestinya,” kata dia. “Tapi perlu diperhatikan Apakah tambang rakyat atau tambang besar keselamatan manusia diutamakan," imbuhnya.
Sementara Pengamat Pertambangan Ferdi Hasiman, memberi catatan kritis terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 terutama soal penambahan luas lahan IPR. Di UU Nomor 4 Tahun 2009 memang sudah ada dasar legal terkait IPR itu ada maksimal izin pertambangan rakyat minimal 5 sampai 25 hektar.
“Sekarang maksimal luas lahan di bawa 100 hektar. Artinya nanti persoalan tambang itu ada di wilayah gubernur sebagai delegasi pemerintah pusat di daerah,” kata Ferdy.
Berpatokan pada data terbaru dari Dirjen Minerba tahun 2020 ia menilai data terbaru monopoli korporasi dalam struktur pertambangan memang masih tinggi. Sampai tahun 2020 terdapat 3.504 IUP daengan rincian 3.372 IUP yang dikeluarkan oleh Pemprov, 322 IUP dikelurkan oleh Pemerintah Pusat ada 67 PKP2B dan ada 31 kk.
“IPR ini ada 16. Saya tidak tahu apakah ada progres lebih lanjut,” bebernya.
Ia menambahkan isu IPR sangat minor di dalam pertambangan. Karena memang monopoli korporasi IUP-IUP yang dikeluarkan Pemda itu baik di Kabupaten maupun Pusat sangat tinggi di dalam rejim tambang Indonesia. Kalau memang secara legal IPR itu diberikan dalam UU Nomor 3, tahun 2020 yang menjadi pokok persoalan adalah publik di Tanah Air belum melihat fakta-fakta empiris di lapangan.
“Apakah Izin pertambangan rakyat di 34 provinsi ini sudah memberi manfaat yang begitu besar untuk kesejahteraan rakyat, untuk kesejahteraan penambang dan juga memberi kontribusi kepada penerimaan daerah?” ia mempertanyakan kontribusi IPR.
Berdasarkan data asosisiasi pertambangan rakyat kontribusi pertambangan rakyat di beberapa daerah masih berada di angka RP 1 M - 2 M. Menurutnya hal itu bergantung pada tata kelola dan manajemen IPR.
Ia juga menyoroti soal pemberian Wilayah Usaha Pertambangan yang tidak boleh serampangan. Ada penetapan Wilayah Usaha Pertambangan dimana tidak boleh ada dalam hutan lindung dan juga hutan konservasi.
Selain itu struktur antropologi budaya Papua yang perlu melakukan pendekatan yang penuh kehati-hatian karena klaim kepemilikan di Papua itu sangat kompleks. Di Timika dan Pegunungan Tengah sangat berbahaya soal kepemilikan lahan, karena bisa jadi satu lahan dimiliki lebih dari tiga sampai empat orang.
“Jadi klaim kepemilikan itu akan memicu konflik-konflik horizontal di masyarakat akar rumput. Saya berharap jangan sampai IPR, program Pemerintah Papua untuk mendorong IPR akan menjadi lebih baik akan bertabrakan dengan konflik-konflik sosial yang ada di Papua,” tutupnya.
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar