Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia(Polri) akan menggerakkan 4.520 personel keamanan, guna untuk mengamankan, pemimpin...
Solusi Untuk Anda!
Vox Point Indonesia: RUU Pemilu Hanya Untuk Melanggengkan Kekuasaan
Matakatolik.com-Organisasi Katolik Vox Populi Institut Indonesia atau Vox Point Indonesia menggelar diskusi politik (dispol) seri XVII yang bertajuk RUU Pemilu untuk Siapa? Secara daring pada Jumat, 19 Juni 2020, pukul 14.00-16.00 WIB. Diskusi yang diselenggarakan oleh Direktorat Kaderisasi dan Advokasi Vox Point Indonesia ini sebagai respon terhadap RUU Pemilu.
Ketua Umum Vox Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati menjelaskan RUU Pemilu sangat menyita perhatian Publik. Menurutnya RUU Pemilu dijadwalkan sudah harus selesai dibahas sebelum akhir tahun 2020 ini. Bahkan Badan Keahlian DPR juga sudah merilis draf RUU Pemilu lengkap dengan naskah akademiknya.
Ia menambahkan dalam RUU Pemilu jika nantinya disetujui maka pemilu akan dibagi dua yakni Pemilu Nasional dan Pemilu daerah sebagaimana dalam pasal 4. Di sana disebutkan Pemilu Nasional meliputi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, dan Pemilu Anggota DPD yang dijalankan secara bersamaan.
Sedangkan Pemilu Daerah yang terdiri atas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilu Anggota DPRD Provinsi, Pemilu Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota, dan Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota semuanya akan dijalankan bersamaan.
"Dalam Draf RUU penyelenggaraan Pemilu tetap 5 tahun sekali. Meski demikian diatur bahwa Pemilih Nasional diselenggarakan 2 tahun setelah berlangsungnya Pemilu Daerah, sementara Pemilu Daerah diselenggarakan 3 tahun setelah diselenggarakannya Pemilu Nasional," bebernya.
Pemilu Daerah pertama diselenggarakan tahun 2027 dan Pemilu Nasional pertama diselenggarakan tahun 2029. Semuanya dilaksanakan 5 tahun sekali sebagamana diatur dalam pasal 734.
Handojo menilai bahwa RUU ini mesti dipertimbangkan lagi oleh pengambil keputusan. Menurutnya hal yang relevan dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah pandemi yang korbannya terus berjatuhan.
"Sangat disayangkan di tengah negara ini berduka dan berjuang ke luar dari belenggu covid 19 ini pengampu kepentingan masih ngotot untuk membahas tentang RRU Pemilu. Seharusnya kita selesaikan dulu masalah covid 19 ini," kata dia.
Ia mengaharapkan agar pembahasan RUU Pemilu perlu ditunda sampai masa pandemi ini selesai. Jangan tergesah-gesah untuk mengesahkan RUU tersebut, tetapi perlu dipikirkan dengan matang sembari mempertimbangkan kondisi yang ada.
"Barangkali kita perlu fokus pada persoalan bangsa saat ini. Untuk mengerahkan tenaga dan pikiran kita dan juga seluruh sumber daya untuk covid 19 ini," terangnya.
Handojo juga mempertanyakan mengapa RUU ini justru dibahas. Menurutnya RUU Pemilu yang sarat akan kepentingan ini perlu ditunda pembahasanya mengingat juga beberapa perubahan yang sangat signifikan di dalamnya yang justru mengungtungkan kelompok penguasa.
"RUU Pemilu harus ditunda, kita kesampingkan dulu membahasnya dan mari kita utamakan kepentingan rakyat," kata dia.
Untuk Penguasa
Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, menilai pada dasarnya perbaikan terhadap UU merupakan upaya yang baik berdasarkan evaluasi sehingga dalam pemilu selanjutnya mendapat berbagai perbaikan. Menurutnya fakta yang terjadi selama ini bahwa setiap usai dan menuju ke pemilu selalu saja ada upaya-upaya untuk memperbaiki UU.
Hadar menjelaskan dibalik upaya evaluasi, perbaikan-perbaikan atas kekurangan-kekurangan di dalam penyelenggaraan pemilu juga menjadi upaya untuk menata UU untuk melindungi mereka-mereka yang berada di posisi berkuasa saat ini. Maka RUU Pemilu yang dibuat lebih cenderung untuk mempertahankan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
“Jadi banyak pasal-pasal yang strategis kalau pasal itu dipasang, lebih condong atau lebih cenderung bisa melindungi kekuatan-keuatan politik yang ada pada saat itu,” kata dia dalam diskusi bulanan Vox Point Indonesia tersebut.
Hadar menambahkan RUU Pemilu tersebut selain saja untuk melindungi kepentingan klompok politik yang berkuasa saat ini tapi juga menjadi upaya untuk menjegal langkah-langakah kekuatan yang ingin menjadi besar. Padahal kata dia masih ada kesempatan bagi siapa yang berkualitas dan menjadi pilihan yang baik bagi masyarakat.
“Kita bisa membacanya, itu mempersulit kekuatan-kekuatan politik baru atau mempersulit kekuatan politik yang baru ingin menjadi besar. Itu sudah biasa bahwa yang punya kekuasaan, otoritas dan yang punya UU ia akan cenderung melindungi dirinya,” tegas Hadar.
Ia membeberkan sebetulnya bila dilihat dari sisi apa maksud dari membuat sistem Pemilu, sistem demokrasi dan lebih luas lagi maksud berbangsa dan bernegara. Seharusnya kata Hadar Indonesia bisa menempatkan diri dengan membuat sistem yang terbuka yakni sistem yang ruang sirkulasi kepemimpinan itu selalu ada.
Lebih lanjut Hadar menerangkan sirkulasi dari kekuatan yang masuk dalam posisi politik itu harus ada. Dengan kata lain jika masyarakat ingin adanya suatu perubahan maka ruang itu harus tersedia atau cukup terbuka.
“Jangan ruang itu dipersempit sehingga keinginan yang semestinya itu merupakan kedaulatan dari rakyat menjadi kecil atau tidak bisa digunakan,” kata Hadar.
Hadar menilai berdasarkan draf RUU Pemilu yang sudah mulai ramai dibicarakan saat ini justru menambah semacam pembatas atau pagar yang bisa membuat ruang perubahan itu sulit. RUU Pemilu ini akan memperkokoh tembok pembatas bagi kekuasaan yang baru.
“Misalkan ambang batas untuk peserta Pemilu akan dinaikan menjadi 7% dari 4 %. Ini kan suatu bukti dan indikasi yang sangat kuat akan memberikan perlindungan yang lebih banyak kepada mereka yang sangat kuat atau yang berada dalam politik kekuasaan,” jelas hadar.
Sebaliknya Partai politik baru atau yang ada sekarang tetapi belum besar mungkin menjadi sangat sulit berada atau masuk dalam kekuatan politik yang bisa memimpin Negara ini. Sistem Pemilu saat ini nyatanya hanya memberi ruang kepada partai politik yang besar untuk bisa ikut pemilu.
Hal itu bisa diukur dari persyaratan sebagai peserta pemilu. Di sana misalnya diatur soal kepengurusan yang harus ada di seluruh provinsi sekurang-kurangnya 75% di Kabupaten Kota Setiap Provinsi.
Selain itu kepengurusan harus sekurang-kurangnya mencapai 50% di Kecamatan di setiap 75% Kabupaten Kota tersebut. Ditambah juga mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1000 di setiap Kabupaten kota atau 1/1000 dari jumlah penduduk dari setiap jumlah Kabupaten Kota.
“Ini sistem yang sangat sulit bagi kekuatan baru dan aspirasi baru yang cukup didukung oleh warga, ada keingingan masyarakat itu ada perubahan,” jelas Hadar.
Sementara soal Presidential Threshold persyaratan penclonan Presiden dan wakil presiden bahwa yang bisa mencalonkan presiden adalah pasangan yang sekurang-kurangnya memiliki 20% kursi di DPR atau 25% Suara dari Pemilu sebelumnya. Aturan ini kata dia sangat menutup ruang bagi mereka yang memiliki kualitas yang baik dalam menjadi pemimpin di negeri ini.
“Ini suatu pagar yang sangat tinggi yang akhirnya membuat kita terbelah. Pemilu akhirnya menjadi ajang keterbelahan rakyat dimana lukanya tidak sembuh-sembuh meskipun pemilu telah selesai. Ini bisa disimpulakan untuk mereka yang sedang berkuasa, untuk menutup ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk membuat kekuatan politik,” tuturnya.
Isu Penting RUU Pemilu
Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI menjelaskan RUU Pemilu ini pada dasarnya menggabungkan beberapa RUU Pilkada dan Pemilu menjadi satu saja yakni RUU Pemilu. Pada saat ini komisi II DPR RI sebenarnya masih merampungkan atau merumuskan draf Komisi sebelum nanti dikirm ke badan legislasi untuk harmonisasi.
“Nah, Sampai hari ini yang sempat saya dapatkan bahwa hingga hari ini belum semua Fraksi memberikan pandangan-pandangannya. Pandangan-pandangan ini terhadap beberapa isu penting di dalam RUU ini,” kata Inosentius.
Ia menambahkan dari segi waktu RUU Pemilu ini masih cukup lama untuk dibahas. Ia tidak menampik bahwa hingga saat ini RUU ini sebenarnya sudah banyak yang menunggu. Selain itu nantinya akan mendengarkan masukan dari Publik melalui mekanisme konsultasi publik.
Ada beberapa isu penting di dalam RUU ini, Pertama, soal rejim pemilihan yakni Pemilihan Nasional dan Pemilihan Daerah. Dalam hal ini melihat juga pertimbangan beberapa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya ada keinginan kuat dari komisi II DPR RI untuk memperkenalkan sesuatu yang baru sebagai pembaruan dari sistem yang ada ini.
Ia melihat adanya kecenderungan berimbang terutama dalam kaitannya antara yang disebut Pemilu Nasional dan Lokal atau Daerah. Terutama dalam hal ini adalah berkaitan dengan penempatan atau posisi DPRD sebagai Pemilu Nasional atau Daerah.
“Ada dua pilihan yang sering muncul dan dipikirkan oleh fraksi-fraksi apakah DPRD ini akan masuk di dalam rezim nasional atau daerah. Tetapi kecendrungan bahwa itu masuk ke dalam rezim nasional. Sedangkan daerah itu Pilkada Bupati, Walikota dan Gubernur,” kata dia.
Kedua, soal kapan Pemilu Nasional dan daerah ini dimulai. Inosentius menjelaskan akan dimulai pada tahun 2027. Lalu di antara tahun 2027 yakni 2023 dan 2024 nanti akan ada Pemilu sebagaimana di dalam draf itu. Di situ ada masa transisi, ada pilkada transisi tahun 2022 dan tahun 2023 sehingga nanti akan bertemu di tahun 2027.
Ketiga, ada beberapa alternatif Pemilu Nasional dan Daerah. Soal Parliamentary Threshold saat ini ada tiga pilihan yang ditawarkan ke fraksi-fraksi. Yang pertama ialah berlaku secara nasional itu 7%. Maksudnya DPR RI 7%, DPRD Provinsi 7 % lalu kemudian DPR kabupaten Kota juga, berlaku secara nasional. Alternatif ke 2 yakni 5% untuk DPR, 4 % untuk DPRD Provinsi dan 3 % untuk DPRD Kabupaten Kota. Alternatif ketiga 4 % untuk DPR dan 0% untuk DPRD.
“Itu artinya bahwa tidak ada Parliamentary Threshold di DPRD kabupaten Kota dan Provinsi. Yang ada itu hanya di DPR pusat sebanyak 4%. Soal sistem Pemilu saat ini masih berimbang soal pilihan pemilu secara tertutup maupun terbuka,” bebernya.
Keempat, mengenai Presidenial Thresold bahwa tidak masuk dalam agenda yang dibahas saat ini. Namun ada masukan bahwa ini tetap ada saat ini, namun ada yang mengatakan sama dengan Parliamentary Thresold dan ada juga mengatakan ini dibuka secara luas.
“Ini masih berjalan dan masih diminta untuk mendengar berbagai masukan,” tutupnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar