Headline News

Rabu Abu dan Panggilan Melestarikan Lingkungan Hidup


Dr. Yustinus Suhardi Ruman, S.Fil.,M.Si 

Matakatolik.com-Rabu abu merupakan salah satu ritus penting dalam tradisi Gereja Katolik Roma. Ritus ini menandai hari pertama masa pra-paskah. Pada hari Rabu Abu semua umat katolik menerima tanda salib pada dahi mereka dengan abu. Dalam sejarah Gereja Katolik, ritus Rabu Abu secara teologis memiliki beragam makna penting bagi kehidupan manusia, terutama umat katolik.
Melalui ritus penerimaan abu tersebut, manusia diingatkan bahwa ia adalah mahluk yang fana, berdosa, lemah, dan oleh karena itu, ia harus menggantungkan hidupnya pada Allah, supaya dari yang fana ia  diubah menjadi yang kekal, dari dosa, ia diubah menjadi suci. dan dengan demikian ia menjadi citra Allah; kekal dan suci.

Namun selain makna teologis tersebut, secara antropomorfistik, abu juga harus mengingatkan manusia pada umumnya atau umat katolik pada khususnya mengenai asal tubuhnya sendiri, yaitu bahwa ia berasal dari abu tanah, atau debu tahah. Perjanjian Lama (Kej. 2:7) menginformasikan bahwa Allah menjadikan manusia dari debu tanah, setelah itu, Allah menghembuskan nafasnya ke dalam tubuh manusia tersebut.

Berdasarkan kisah tersebut, maka ritus Rabu Abu bukan hanya menyadarkan manusia terhadap kefanaannya, melainkan juga sebuah peringatan akan panggilannya untuk melestarikan lingkungan hidupnya. Tubuh manusia berasal dan tercipta dari alam, dan oleh karena itu, manusia dipanggil untuk melestarikan alam di mana ia berada.

Proses penciptaan pada tubuh manusia terus berlangsung setiap saat melalui regenerasi sel-sel tubuh yang tiada henti. Setiap saat sel-sel tubuh manusia mengalami proses regenerasi. Proses regenerasi ini akan berhenti atau mengalami hambatan secara artifisial, di luar nasib alamiahnya, bila alam di mana manusia hidup tidak mendukungnya.

Polusi udara, air, dan tanah adalah kondisi yang tidak mendukung proses regenerasi sel-sel tubuh manusia berlangsung dengan baik. Banyak penderitaan yang dialami oleh manusia dewasa ini justru bersumber dari lingkungan yang tidak mendukung kehidupannya sendiri. Manusia tidak hidup pada lingkungan yang hidup, melainkan lingkungan yang mati. Kondisi alam tersebut secara langsung dapat dikaitkan dengan sikap dosa. Dosa ketidakpedulian pada lingkungan alam.

Sampai di sini kita kembali harus menyadari bahwa  ritus Rabu Abu merupakan sebuah moment bermakna di mana manusia berikhtiar untuk kembali memperbaiki relasi dengan lingkungan alamnya, agar lingkungannya dapat memberika kehidupan kepada manusia itu sendiri. Rabu Abu adalah sebuah awal dari sebuah ikhtiar untuk mengembalikan lingkungan alam pada kondisi asalinya ketika Allah mengatakan semuanya baik adanya.

Perbaikan relasi ini dapat dimulai dari perubahan mindset, cara pandang manusia tentang lingkungan alam. Lingkungan alam tidak dialami semata-mata sebagai entitas material, atau obyek eksperimental dan eksploitatif, melainkan sebagai sebuah entitas spiritual yang menuntut sikap hormat, peduli dan tanggungjawab. 

Dalam bukunya yang berjudul A Sacred Place to Dwell: Living with Reverence Upon the Earth, Henryk Skowlimowski (1993) mengemukakan bahwa sebagai sebuah entitas spiritual, alam harus diperlakukan sebagai tempat yang kudus. Tempat di mana manusia dapat berjumpa dengan Allah. Bila kita menempatkan alam sebagai sesuatu yang kudus, maka perilaku kita terhadapnya akan menjadi lebih bertanggungjawab, peduli, dan sopan.

Skolimowski mengatakan bahwa apa yang terjadi dengan alam semesta tergantung pada tindakan anda. Kalau anda memperlakukan alam semesta seperti sebuah mesin, maka alam semesta menjadi sebuah mesin. Kalau anda memperlakukan alam semesta sebagai tempat suci, maka alam semesta menjadi tempat yang suci. Kalau anda memperlakukan alam semesta secara acuh tak acuh dan kejam, maka alam semesta menjadi sebuah tempat yang acuh tak acuh dan kejam. Memperlakukan alam semesta dengan cinta dan peduli dan alam semesta menjadi sebuah tempat yang penuh cinta dan peduli.

Berdasar pada uraian Skowlimoski tersebut, kita dapat mengatakan bahwa Abu yang ditandakan pada dahi setiap orang Katolik pada hari Rabu Abu  untuk menandari masa pra-Paskah memiliki makna pertobatan ekologis. Bertobat dari tindakan-tindakan yang merusak lingkungan alam, dan kembali memulihkan alam sebagaimana Allah telah menjadikannya baik. Baik seturut rupanya sendiri. Melalui pertobatan ekologis ini, manusia kembali memulihkan relasinya dengan alam. Manusia kembali mengambil inisiatif untuk bertanggungjawab, peduli, sopan terhadap alam.

Hal ini sangat penting bagi manusia, sebab hanya melalui lingkungan alam yang baik itu, Allah menyalurkan berkat dan rahmat hidup kepada manusia. Sebaliknya bila lingkungan alam telah mengalami polusi atau rusak, maka rahmat kehidupan dari Allah tidak dapat mengalir dengan baik untuk mendukung kehidupan manusia itu sendiri. Sekali lagi Abu yang ditandakan kepada setipa dahi orang Katolik adalah juga sebuah panggilan untuk melestarikan lingkungan alam. Dengan alam yang lestari, rahmat kehidupan Allah dapat mengalir dengan baik untuk mendukung kehidupan manusia.


Dr. Yustinus Suhardi Ruman, S.Fil.,M.Si 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI