Headline News

Ansy Lema Tawarkan Gerakan Revolusioner Ubah Pertanian NTT


Matakatolik.com- Akademisi dan Pengamat Pertanian Dr Leta Rafael Lewis mengatakan masyarakat NTT di sejumlah wilayah akan menderita kelaparan pada tahun 2020. Dari riset akademik yang dipublikasikannya pada Jumat (24 /1/2020), Dosen Fakultas Pertanian di Universitas Nusa Cendana tersebut menjelaskan bahwa banyak petani belum menanam sampai akhir Januari 2020.

Menurut Rafael, para petani belum menanam karena pergeseran musim hujan, serta minimnya curah hujan di NTT pada musim hujan tahun 2019/2020. Akibatnya, kelaparan bisa saja terjadi di beberapa daerah yang mengalami gagal tanam dan gagal panen karena curah hujan tidak menentu.

Menanggapi temuan akademik tersebut, anggota DPR RI Komisi IV Yohanis Fransiskus Lema meminta agar negara segera melakukan tindakan luar biasa (extradordinary action) yang sifatnya revolusioner di sektor pertanian untuk mengantisipasi masalah kelaparan (rawan pangan) para petani NTT di sejumlah wilayah. Pemerintah harus serius dalam menyikapi pergesaran musim hujan dan minimnya curah hujan yang potensial mengakibatkan para petani gagal tanam dan gagal panen.

“Publikasi riset akademik Dr Rafael Leta Lewis telah menemukan kemungkinan petani sejumlah daerah di NTT akan mengalami kelaparan. Ini disebabkan pergeseran musim hujan serta minimnya curah hujan hingga para petani gagal tanam, juga akan gagal panen karena curah hujan tidak menentu (mendukung). Situasi ini harus ditanggapi dan diantisipasi serius oleh pemerintah dengan melakukan tindakan luar biasa,” urai Politisi muda PDI Perjuangan tersebut.

Pendataan Petani Gagal Tanam dan Gagal Panen

Tindakan luar biasa tersebut, demikian pria yang akrab disapa Ansy Lema ini, adalah dengan melakukan sejumlah aksi konkret jangka pendek maupun jangka menengah. Untuk kategori pertama, wakil rakyat asal NTT itu meminta pemerintah Provinsi NTT melakukan koordinasi dan sinergi dengan pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa untuk melakukan pendataan secara menyeluruh kepada para petani yang gagal tanam dan berpotensi gagal panen.

“Pemerintah provinsi NTT perlu melakukan sinergi dan koordinasi untuk melakukan pendataan para petani yang gagal tanam dan berpotensi gagal panen sebagai dasar rujukan objektif melakukan langkah-langkah solutif dan antisipatif. Kerja sama dan koordinasi dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, hingga kelompok petani perlu dilakukan sehingga data yang dihasilkan akurat dan objektif,” lanjut Ansy Lema.

Untuk langkah solutif, Ansy menganjurkan agar pemerintah melakukan intervensi langsung guna memastikan petani tetap menanam dengan tanaman-tanaman unggulan yang adaptif terhadap minimnya curah hujan. Agar tercapai maksud ini, pemerintah dapat bekerja sama dengan litbang universitas ataupun para praktisi pertanian.

“Pemerintah daerah perlu melakukan upaya untuk mengatasi gagal tanam sekaligus gagal panen. Salah satu cara adalah melakukan pola tanam tanaman pertanian yang adaptif dengan cuaca dan iklim. Untuk mengetahui itu dilakukan studi atau uji laboratorium secara cepat,namun akurat untuk mengetahui tanaman yang cocok dengan kondisi NTT saat ini,” papar Ansy.

Pada saat serentak, sebagai langkah antisipatif, pemerintah juga dapat mengalokasikan dana cadangan anggaran agar pada saat yang dibutuhkan dapat memberikan bantuan langsung kepada para petani yang benar-benar mengalami kelaparan.

Bantuan Pembukaan Lahan Kering

Namun, menurut Ansy, tindakan jangka pendek belum cukup karena tidak menyelesaikan persoalan. Ibarat pasien yang sementara sakit, ini hanya menahan rasa sakit, bukan untuk menyembuhkan. NTT yang minim curah hujan serta mayoritas pertanian lahan kering dengan karakter tanah yang kaku dan berbatu harus segera mengeksekusi narasi besar (grand design) di bidang pertanian. Narasi besar di pertanian sangat mendesak untuk diwujudkan demi tercapainya kedaulatan pangan di NTT.

“Kita harus memikirkan narasi besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan di NTT. Curah hujan yang menyebabkan gagal tanam dan gagal panen paling berdampak kepada para petani lahan kering. Sementara itu mayoritas penduduk miskin di NTT ada di pedesaan. Karena itu dalam berbagai kesempatan saya mendorong pola pengembangan lahan kering di NTT sebagai salah satu narasi besar pengembangan sektor pertanian di NTT.”

Mantan akademisi tersebut meminta agar negara perlu hadir untuk mengintervensi pembukaan lahan, perluasan lahan, pengolahan atau penggemburan “lahan tidur” yang potensial. Ia secara khusus meminta negara mengadakan alat berat excavator dan membantu petani dengan permodalan sewa pembukaan lahan. "Perlu ada subsidi pengolahan lahan kering. Bukankah di lahan basah, ada subsidi pencetakan sawah? Mengapa halnyang sama tidak ada subsidi untuk lahan kering?" gugatnya. Setelah itu pemerintah dapat melakukan pendampingan terhadap para petani untuk menanam tanaman-tanaman komoditi unggulan yang adaptif dengan curah hujan dan iklim NTT sekaligus bernilai ekonomis.

“Ketika melakukan serap aspirasi atau reses di NTT, saya menemukan banyak lahan tidur karena para petani terbatas tenaganya, atau hanya menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan tenaga manusia. Maka perlu ada mekanisasi pertanian modern di NTT untuk membantu para petani membuka lahan secara ektensifikasi dan intensifikasi. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Pertanian baru-baru ini saya secara khusus meminta bantuan pengadaan alat berat excavator. Ini sebagai langkah pembuka yang tepat untuk membantu para petani menanam komoditi unggulan yang bernilai ekonomis dan sesuai konteks NTT,” jelas Ansy.

Revolusi Hijau Pertanian NTT

NTT harus pula menerapkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) untuk mendukung terciptanya ekosistem pertanian yang ramah lingkungan. Masih banyak petani di NTT mengunakan cara-cara tradisional untuk mendapatkan lahan secara instan (mudah), yakni dengan cara berpindah-pindah lahan, merambah hutan, menebas pohon dan membakar lahan. Padahal kajian akademik telah menemukan korelasi kuat (afirmatif) antara penghancuran lingkungan (salah satunya karena pola pertanian tradisional) dan minimnya, atau tidak menentunya (pergeseran) curah hujan

“Kita harus merevolusi paradigma pertanian di NTT, salah satunya dengan melakukan revolusi hijau (green revolution) di sektor pertanian NTT. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan kebakaran lahan di NTT Januari-September 2019 mencapai 119.459 ha. Artinya, masih banyak yang bertani dengan cara tradisional; seperti berpindah-pindah dan membakar lahan. Ini harusnya dihentikan karena merusak alam. Di sinilah negara perlu hadir. Tiak hanya dengan mengedukasi, tetapi turun langsung membantu para petani membuka lahan dengan teknologi pertanian modern yang ramah lingkungan,” pungkasnya.

Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI