Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia(Polri) akan menggerakkan 4.520 personel keamanan, guna untuk mengamankan, pemimpin...
Solusi Untuk Anda!
Terkait Korporasi Penyebab Karhutla, Ansy Lema: Negara Harus Tindak Tegas
Matakatolik.com- Anggota DPR RI Komisi IV Yohanis Fransiskus Lema menekankan peran penting negara dalam menindak tegas para pelaku korporasi yang melakukan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Bukan hanya persoalan menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar, tindakan karhutla sendiri jelas merusak ekosistem lingkungan yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup.
Hal itu diungkapkan oleh pria yang akrab disapa Ansy Lema ini dalam dialog bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah Riau, Kamis (7/11). Pada Kamis kemarin, dirinya bersama dengan anggota Komisi IV lainnya melakukan kunjungan kerja resmi pertama ke lokasi karhutla di Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
“Ada tiga aktor penting di sini terkait karhutla, yaitu negara, korporasi, dan masyarakat. Masyarakat yang menyebabkan karhutla bisa diberikan edukasi untuk tidak lagi melakukan. Namun, tidak bagi korporasi yang menjadi pelaku utama karhutla,” ujar Ansy.
Dirinya memaparkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk satu wilayah Sumatera, Provinsi Riau adalah propinsi dengan karhutla terbesar selama periode Januari - September 2019 dengan total rekapitulasi karhutla sebesar 75.870 hektar. Angka ini memiliki presentase 8,85 persen dari total luas lahan karhutla di Indonesia yang mencapai 857.756 hektar.
Melihat trendnya selama periode 5 tahun terakhir (2015 – 2019), lanjut Ansy, berdasarkan data KLHK Riau masuk dalam lima provinsi terbesar yang mengalami karhutla dengan total 389.001,46 hektar. Posisi pertama ditempati Kalteng dengan 773.385,25 hektar, Sumsel dengan 727.651,97 hektar, Papua dengan 680.748,12 hektar, dan Kalsel dengan 419.231,06 hektar. Kebakaran di Riau tahun ini paling banyak terjadi di lahan gambut dengan total 40.553 hektar dan tanah mineral 8.713 hektar.
“Apa yang menjadi penyebab karhutla di Riau ini adalah adanya alih fungsi lahan dan deforestasi. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal PTSP Riau, luas kebun kelapa sawit di Riau tercatat 2,42 juta hektar. Luas kebun sawit ini lebih dari seperempat luas Provinsi Riau yang sekitar 8,7 hektar,” beber Ansy.
Yang mempunyai kebun kelapa sawit di Riau adalah masyarakat dan korporasi. Akan tetapi, yang paling banyak adalah korporasi, baik korporasi skala nasional ataupun internasional. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sudah bersuara sewaktu Mantan Wakil Pimpinan KPK Alexander Marwata berkunjung ke Riau pada Mei 2019 lalu. KPK mencatat ada 1 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang ilegal (tanpa ijin) dan meminta Pemprov Riau untuk menertibkan hal tersebut.
Hingga Oktober 2019, KLHK telah menyegel 64 perusahaan yang terlibat karhutla dan tersebar di berbagai provinsi, termasuk Riau sendiri. KLHK juga menetapkan 5 dari 20 perusahaan asing sebagai tersangka karhutla. Selebihnya masih dilakukan proses penyelidikan.
“Negara harus bisa adil di sini. Pemerintah harus bisa kuat untuk menindak tegas korporasi agar peristiwa karhutla ini tidak menjadi agenda tahunan yang selalu terjadi. Kita harus bisa mencegah,” pungkas Ansy.
Selain mengenai penyegelan atau pembekuan izin, skala penegakan hukum yang perlu dilakukan sebagai efek jera adalah pemberlakuan denda. Dalam hal ini, tegas Ansy, pemerintah harus bisa meminta dan menagih denda korporasi yang melakukan karhutla. Misalnya, KLHK menetapkan empat perusahaan asing tersangka Karhutla dengan total ganti rugi yang wajib dibayarkan sebesar Rp 3,15 triliun dan pemerintah baru menerima Rp 78 miliar. Hal ini tentu saja membutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk bisa melakukan penegakan hukum dan sanksi tanpa pandang bulu.
“Jangan sampai negara harus selalu menanggung kerugian hingga puluhan triliun akibat karhutla,” imbuh Ansy.
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar