Headline News

50 Tahun STFK Ledalero, Ansy Lema: Para Filsuf dan Teolog Harus Rebut Ruang Publik


Matakatolik.com – Kritisisme filsafat dan teologi berperan penting merebut penguasaan ruang publik Indonesia oleh pihak-pihak yang berusaha memaksakan kepentingan privatnya. Penguasaan ruang publik oleh kepentingan privat mengakibatkan massifnya eksplorasi politik identitas, informasi tidak benar, hoax, fitnah, dan rasisme yang mengancam kebhinekaan Indonesia.

“Para filsuf dan teolog harus berjuang merebut ruang publik dengan diskursus dan wacana di tengah merebaknya informasi tak benar, hoax, fitnah, dan rasisme yang merusak ruang publik,” tegas anggota DPR RI Terpilih 2019-2024, Yohanis Fransiskus Lema ketika menjadi pembicara dalam Talk Show Nasional bertajuk “Sumbangan Filsafat dan Teologi bagi Indonesia Unggul” yang diadakan Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (Iluni STFK Ledalero di aula Toko Buku Gramedia Lantai 2, Matraman, Jakarta Timur, Sabtu (21/9/2019).

Talk Show menghadirkan Sosiolog dan penulis kenamaan Dr. Ignas Kleden yang juga adalah alumnus STFK Ledalero, Direktris Pascasarjana STF Driyarkara Jakarta Dr Karlina Supelli (aktivis, dosen dan Direktur Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta) dan anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema.

Ignas Kleden menjelaskan bahwa dalam konteks Indonesia, setiap warga negara Indonesia harus menjadikan bahasa-bahasa privat-primordialnya untuk menjadi bahasa publik. Ia harus mampu menerjemahkan bahasa privatnnya menjadi bahasa publik yang mampu diterima dan dipahami peserta ruang publik yang beragam.

“Ruang publik tidak akan tercapai kalau ada pemaksaan bahasa privat menjadi seolah-olah bahasa publik. Ini akan tercapai kekacauan Babilonik,” papar Ignas.

Dosen STF Driyarkara Karlina Supelli menekankan pendidikan sebagai faktor yang sangat penting untuk memperkaya ruang publik. Pendidikan juga harus memasukkan narasi-narasi lokal-kebudayaan, sebab kebudayaan dapat memiliki kekayaan nilai-nilai yang penting.

“Pendidikan dan budaya sangat penting karena dapat membangun habitus seseorang di ruang publik. MIsalnya, orang menjadi adil jika membiasakan bertindak adil dalam kehidupan bersama. Orang menjadi adil bukan karena membaca teori keadilan,” ungkap Direktur Pasca Sarjana STF Driyarkara tersebut.

Merebut Ruang Publik

Mengutip pemikiran filsuf Jerman Hannah Arendt dan Aristoteles, Ansy menyebut ruang publik sebagai ruang sakral, ruang di mana warga negara berdiskusi, membincangkan soal kehidupan bersama, termasuk pengambilan kebijakan publik. Filsuf dan teolog yang dibekali nalar kritis perlu bertarung dalam ruang publik agar ruang publik tetap dijaga kemurnian dan kewarasannya.

“Para filsuf dan teolog harus mampu berkompetisi merebut ruang publik lewat wacana dengan menulis di koran dan media massa, melakukukan perimbangan wacana agar ruang publik tetap dijaga kemurniannya, kewarasannya,” ujar politisi muda PDI Perjuangan yang akrab dipanggil Ansy Lema itu.

Ansy meyakini para filsuf dan teolog yang sudah mendapat pengetahuan tentang kelogisan, etika, kebenaran, kebijaksanaan  dapat mampu merebut ruang publik. Ruang publik yang dimaksud adalah ruang politis agar politik Indonesia menjadi sehat dan negara menjadi lebih baik.

Juru bicara Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini secara khusus menyorot beredarnya fenomen “teologi kematian” atau “teologi maut”. Teologi kematian berusaha memonopoli kebenaran agama, menolak estetika nilai-nilai agama lain, bahkan berani mati untuk apa yang diperjuangkan.

“Para teolog atau kita yang pernah sedikit memahami teologi harus berani melawan dengan mengedepankan teologi kehidupan, teologi yang menjajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Tuhan yang kita sembah di Indonesia adalah Tuhan yang menghargai toleransi, kebhinekaan, dan kehidupan,” beber mantan Dosen di berbagai universitas di Jakarta itu.

Menjadi pemimpin

Tidak hanya berwacana di ruang publik, Ansy mengajak alumni Ledalero untuk mengambil bagian dalam pengambilan kebijakan. Salah satu cara adalah dengan bertarung merebut kekuasaan: menjadi kepala daerah, anggota legislatif atau eksekutif.

“Para teolog dan filsuf tidak bisa menghindar dari kekuasan politik karena politik adalah seni mengolah kehidupan bernegara. Dari ruang politik anggaran di Senayan, misalnya, alokasi anggaran ke seluruh penjuru republik disusun. Dari ruang politik di senayan juga, segala regulasi berupa Undang Undang yang mengatur kehidupan bernegara disusun. Atas dasar itu, pengetahuan dan masukan para filsuf dan teolog sangat penting,” jelasnya.

Namun, untuk menjadi pemimpin, Ansy berpendapat para filsuf dan teolog sedapat mungkin tidak hanya memperhatikan aspek filosofis (gagasan, konsep, wacana), tetapi juga harus memiliki kompetensi membuat regulasi (Undang-Undang) dan mampu dalam aksi-implementasi.

Mengutip teori Strukturasi Anthony Giddens, aktivis 98 itu meyakini bahwa perubahan di Indonesia dapat berjalan cepat dan tepat jika muncul pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas. Pemimpin adalah agen transformasi.

“Pemimpin sebagai aktor berperan vital mentransformasi sistem. Sebut saja figur Jokowi, Ahok, Risma, Nurdin Abdullah yang dengan keteladanan dapat menginspirasi dan mengubah sistem. Habitus aktor kemudian ditransfer menjadi habitus struktur atau sistem,” pungkasnya.

Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK) telah merayakan 50 tahun berdirinya atau 50 tahun pesta emas yang berpuncak pada 8 September 2019 di Maumere, NTT. Hingga kini, salah satu lembaga pendidikan berprestasi dari wilayah Indonesia Timur ini sudah menghasilkan sebanyak 5.800 alumni. Di antara para alumni, ada 19 orang uskup Katolik, 1.822 pastor dan 3.978 awam. Sebanyak 500-an lebih pastor tamatan Ledalero sedang berkarya di mancanegara.

Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI