Headline News

Radikalisme, Upaya Meruntuhkan Rasionalitas


Matakatolik.com-Hasil penyelidikan polisi Philipina mengungkapkan, serangan bom bunuh diri di Gereja Katedral, Our Lady of Mount Carmel, di Jolo Provinsi Sulu-Philipina (27/01/2019) yang menewaskan 23 umat dan melukai 102 orang, pelakunya adalah pasangan suami isteri berwarga negara Indonesia (Tempo.co, 23/07/2019, CNNIndonesia, 25/07/2019).

Dari hasil penyelidikan ini ada beberapa hal yang perlu dicermati, yakni: Pertama, kelompok teroris patriat Indonesia, seperti sedang membuat migrasi, atau lebih tepat mengekspansi wilayah kegiatan.

Ekspansi dan migrasi ini bisa disebabkan semakin meluas dan simultannya jaringan yang dikelola. Mungkin lebih dari itu, mereka hendak memproklamasikan kepada dunia bahwa siapa saja, dari negara apa saja, bisa melakukan tindakan-tindakan teror di mana saja, termasuk di negara lain.

Bacaan lain dari hal ini, munculnya upaya memaklumatkan kepada publik bahwa kelompok militan-fundamentalis radikal ini berdiaspora dengan bangunan sistem dan struktur jaringan yang sudah sangat kuat dan jelimet.

Kedua, kemungkinan lain, adanya fakta di mana kaum ini sudah tidak mendapat tempat atau merasa tidak nyaman berada di dalam negeri.

Dengan terkoordinasinya kebijakan keamanan dalam negeri yang lebih antisipatif dan mitigatif, pemerintah Indonesia casu quo Polri dan TNI telah membuat fragmentasi ruang gerak komunitas radikal ini.

Dengan fragmentasi, mereka tidak lagi leluasa dalam merakit berbagai modus rangkaian teror.

Ketiga, variabel faktorial yang cukup esensial dalam melakukan gerakan bom bunuh diri adalah kehilangan dan kevakuman identitas rasional sebagai manusia.

Ketika doktrin jihad dan mati syahid sudah mendeterminasi, lalu menafikan rasionalitas dan humanitas, seseorang bisa saja melakukan bom bunuh diri tanpa harus mempertimbangkan waktu, tempat, dan metode eksekusi.

Keempat, mengakarnya trans-nasionalitas, holisitas, solidaritas, kolegialitas, bahkan necessituditas (ikatan keluarga), pada pola pikir dan sikap dari komunitas radikal ini.

Tentu transisme yang kuat ini berkembang pada aras sistem dan struktur ideologi keagamaan berbasis fundamentalis sporadik, sehingga eksekusi gerakan tidak lagi sebatas tali pertemanan atau persaudaraan saja, tetapi sudah merambah pada ikatan keluarga (family ties).

Keterlibatan kolektif suami, isteri dan anak-anak dan saudara sudah menjadi trendsetter modus dari beberapa gerakan.

Pertalian keluarga sudah berhasil dijebak pada pusaran solidaristik yang naif dan konyol, dan dengan gampang menciderai rumus kemanusiaan dan kejatian ciptaan Allah.

Keluarga yang sebenarnya bisa merupakan komunitas basis rasional, terdegradasi oleh manipulasi radikalisme yang digawangi bentuk-bentuk irasionalisme.

Poin ketiga dan keempat di atas perlu menjadi konsern kajian akademik. Peristiwa bunuh diri adalah kejadian panggung depan.

Sementara yang paling dasar dari peristiwa bunuh diri ada di panggung belakang kemanusiaan, yaitu pertarungan riil antara rasionalitas yang mewakili identitas kemanusiaan; dengan irasionalitas yang mewakili radikalisme dan berbagai tindakan teror lainnya.

Ketika rasionalitas dikalahkan pada pertarungan panggung belakang kemanusiaan oleh irasionalitas, maka salah satu bentuk adegan yang muncul pada panggung depan adalah bom bunuh diri dan tindakan-tindakan teror serumpun.

Ditelisik seturut peta perkembangan pengetahuan, radikalisme dalam segala manifestasinya merupakan penampakan lain dari irasionalitas.

Ada beberapa ciri dari radikalisme yang menggambarkan tentang kecenderungan irasional tersebut, antara lain: (1) Paranoid dengan dialektika pemikiran kritis. Radikalisme ditumbuhkembangkan oleh kaum radikalis yang sangat eksklusif dalam pemikiran dan tindakan.

Mereka tidak terbuka pada kritik dan mengultuskan pemikirannya sendiri dan pribadi-pribadi tertentu sebagai rujukan utama. Dominasi permainan emosi merupakan hasil dari proses ‘cuci otak’ yang efektif.

(2) Sangat defensif berikut ofensif untuk menyatakan klaim ‘ghetto’ kebenaran dan menganggap pihak lain tidak memiliki akses dan kompetensi kebenaran. Mereka berasumsi, di luar kelompok dan keyakinannya tidak ada kebenaran.

(3) Dalam upaya menemukan kebenaran rasional, kaum radikalis menggunakan metode dan pendekatan yang tidak lazim dan tidak sahih secara saintifik. Meskipun demikian, kaum radikalis ini sangat menyakini bahwa metode dan pendekatan yang mereka gunakan sangat benar dalam meraih kebenaran.

Mereka menyakini kebenaran baru yang mereka miliki dapat meruntuhkan dalil kebenaran lama (post truth), yang sebenarnya merupakan hasil temuan dari metode dan pendekatan yang sudah sahih secara saintifik.

Kaum radikalis menafikan hal-hal empirik dan evidensial, dan lebih mengamini adanya peran ‘invisible’ dalam pembuktian kebenarannya.

(4) Secara sosial, kaum radikalis cenderung mengisolasi diri dan memiliki relasi ekslusif-elitis. Mereka selalu berada dalam ‘ketakutan’ bergaul dengan orang lain karena menganggap orang lain akan membawa pencemaran dan penistaan terhadap diri dan lingkungannya. Orang lain, di luar kaumnya adalah sumber petaka.

Karena itu, pada titik yang paling ekstrim, ada upaya untuk menghilangkan atau menyingkirkan eksistensi orang lain tersebut dengan cara-cara yang tidak manusiawi sekalipun.

Jelas, musuh dari radikalisme adalah  rasionalitas. Sebab bila merujuk pada konsep dan praksisnya, radikalisme sangat kontradiktoris dengan rasionalitas.

Rasionalitas merupakan suatu sikap kesediaan untuk mendengarkan argumen-argumen kritis dan belajar dari pengalaman.

Popper (1999), menyebutkan rasionalitas secara fundamental merupakan sikap yang mengakui bahwa ‘saya mungkin salah dan anda mungkin benar, dan dengan suatu ikhtiar, kita mungkin mendekati kebenaran’.

Rasionalitas merupakan suatu bentuk perilaku optimis bahwa lewat argumentasi dan observasi yang cermat, orang bisa mencapai suatu kesepakatan pada masalah-masalah penting; sekalipun ketika kepentingan dan tuntutan mereka berbenturan.

Komunitas rasional berada dalam kultur diskursus tentang berbagai tuntutan dan proposal sampai menemukan kesepakatan ‘kebenaran’ yang obyektif dan valid.

Pendeknya, sikap seorang rasional adalah kemasuk-akalan (reasonableness), ilmiah akademik, konfidensial dalam pencaharian kebenaran. Di pandang dari sisi sosiologis, rasionalitas lebih mempertimbangakan argumen-argumen yang sifatnya interaktif-dialogis.

Selain isinya, dialetika dalam berargumentasi juga dinilai memiliki nilai yang penting dalam pencaharian kebenaran.

Setiap orang yang berkomunikasi menjadi sumber argumentasi yang potensial dan sekaligus menjadi informan yang baik bagi semua orang.

Dialektika argumen-argumen akan menjadi ‘persatuan rasional umat manusia’. Hal ini sangat mempertegas apa yang diungkapkan oleh Hegel (1770-1831), bahwa sebenarnya akal sehat merupakan suatu produk sosial dan merupakan suatu jenis bagian tak terpisahkan dari jiwa masyarakat.

Bahkan bila berpengaruh baik, akan ini menjadi penentu perubahan peradaban dalam masyarakat. Nilai kebenaran yang dimiliki oleh individu merupakan hasil dari bentuk kolektivitas dalam masyakat, yang adalah pemilik dari semua nilai.

Dalam hubungannya dengan manusia lain di muka bumi ini, manusia dilahirkan sebagai yang berakal budi (animal rationale).

Sebagai penegasan, Plato (427-347 SM) menyamakan akal sehat sebagai pengetahuan. Untuk mencapai pengetahuan sejati, manusia perlu mengandalkan akal budi, yang sebut sebagai Ide Abadi.

Sementara Descartes (1596-1650) mengatakan, agar mencapai pengetahuan yang benar dan sejati tentang realitas, manusia harus mengandalkan akal budi.

Kegiatan untuk menangkap realitas dengan mengandalkan akal budi disebut proses berpikir. Menurut Descartes, ketika manusia berpikir, maka manusia itu ada (cogito ergo sum).

Kegiatan berpikir mengafirmasi keberadaan manusia sebagai kebenaran pasti dan tak terbantahkan, yang menjadi landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia.

Karenanya, kegiatan berpikir dengan mengandalkan akal budi merupakan unsur yang paling kokoh dan pokok dari pengetahuan manusia. Segala sesuatu yang dapat diterima akal budi dalam proses berpikir menjadi pengetahuan yang benar dan sejati.

Dalam konteks inilah, maka radikalisme dan rasionalitas tidak pernah bisa didamaikan. Mayoritas kaum irasional dikuasai oleh emosi-emosi dan nafsu-nafsu ketimbang berdasarkan akal.

Karena itu, mereka tidak pernah menjadi manusia akal (men of reason). Kaum radikal-irasional hidup dari insting-insting dan impuls-impuls yang bisa mematikan kreativitas, inovasi dan respon positif terhadap perubahan, serta pengenalan yang utuh akan dirinya sendiri.

Kaum ini begitu alergi dengan diskursus. Padahal diskursus adalah dasar dari kemasukakalan. Akal, seperti halnya ilmu pengetahuan, berkembang melalui wacana mutual.

Diskursus merupakan jalan yang bisa dimanfaatkan dalam ‘merancang’ pertumbuhan akal dengan menumbuhkembangkan berbagai perangkat yang melindungi kemerdekaan berpikir. Selanjutnya, rasionalitas sejati dalam konsep Sokrates (469 SM - 399 SM), adalah rasionalitas kesadaran.

Kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan diri dan kerendahan hati intelektual untuk mengetahui betapa seringnya seseorang khilaf, dan betapa pentingnya bangkit dari kekhilafan itu.

Semua ini adalah alur pembentukan kesadaran pengetahuan manusiawi. Rasionalitas merupakan kesadaran bahwa individu tidak boleh terlalu fanatik pada akalnya sendiri.

Dengan terbuka saat berinteraksi dengan orang lain, akal seseorang semakin lebih jelas dan terang (clara et distincta) dalam menyikapi berbagai diorama tuntutan dan permasalahan kehidupan di dunia.

Oleh: Dr. Marianus Mantovanny Tapung
Dosen Unika Indonesia St. Paulus Ruteng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI