Headline News

Politik Unitas Gereja Pasca Pemilu 2019


Dr. Marianus Mantovanny Tapung

Matakatolik.com-Politik Gereja universal berikut Gereja lokal di Indonesia adalah persatuan. Politik persatuan ini didasarkan pada semangat dasar: ‘Supaya mereka semua menjadi satu (Ut Omnes Unum Sint; That they all may be one).

Semangat dasar ini dipenggal dari frasa ayat mengenai amanat perpisahan Yesus Kristus dengan murid-murid-Nya: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:12). 

Politik persatuan Gereja ini selaras dengan prinsip dasar ideologi politik negara bangsa, yakni persatuan Indonesia.

Ideologi politik persatuan ini secara mendasar juga telah dielaborasi dengan lugas dalam empat pilar kebangsaan, yaitu: Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
 
Persatuan menjadi isu yang sangat mengemuka pada saat kontestasi Pemilu 17 April 2019. Segregasi dan konflik yang mengarah pada pemikiran separatis dan desintegrasi cukup mengental, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kerusuhan 21-22 Mei 2019 sudah cukup menarasikan adanya itikad mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Syukur, kerusuhan tersebut dapat diatasi dengan sigap oleh aparat keamanan (Polri dan TNI) (Tempo.co., 23/05/2109).

Terlepas dari apa yang menjadi maksud dan tujuan dari gerakan-gerakan tersebut serta siapa orang/kelompok yang menjadi dalang, satu hal yang perlu diantisipasi adalah senantiasa menguatnya potensi embrional untuk memecah belah NKRI (Kompas.com, 5/07/2019).

Tetap diproyeksi, pasca pemilu dan bahkan setelah keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan Jokowi dan Mar’uf Amin (27/06/2019) dan pertemuan Jokowi dan Prabowo (13/07/2019), potensi itu tetap menyeruak.

Potensi ini termanifestasi dalam bentuk gerakan senyap dari kelompok-kelompok yang alergi dengan gagasan persatuan (CNNIndonesia, 17/07/2019, “Pertemuan Jokowi-Prabowo dinilai sudutkan kelompok radikal”).

Berbagai basis gerakan senyap ini, suatu saat terimpuls secara eskalatif ketika ada pemicu destruksinya. Pemicu destruksinya bisa saja bersumber pada pelatuk masalah politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dll.

Bila merujuk pada fase kontinual dan gradual, bangsa Indonesia sepertinya masih dalam proses transisi menuju peradaban politik matang. Dalam proses pematangan tersebut, masyarakat berkemah pada bermacam identitas sosial, yang tentu berimplikasi pada wawasan kebangsaannya.

Menurut Fromm dalam buku ‘Masyarakat yang Sehat’ (1995), pada suatu bangsa yang sedang bertransformasi peradaban politiknya, terdapat minimal tiga tipikalitas masyarakat:

(1) Pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, optimisme, menjaga kelangsungan perkembangan kehidupan dalam segala cara dan bentuk. Pada masyarakat ini, jarang terjadi destruksi, konflik, dan friksi sosial. Masyarakat ini kerap menjalin kerja sama, solidaritas dan toleransi dengan penuh cinta dan penghargaan. Mereka secara bertanggung jawab merajut ikatan-ikatan persaudaraan dan selalu membangun pengertian tentang diri, sesama dan lingkungan. Masyarakat bersifat komunitarian humanistik, di mana setiap orang  dengan latar belakang berbeda, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia seutuhnya. Popper pada The Open Society and Its Enemies (2008), menyebut jenis ini sebagai masyarakat terbuka (open society), di mana perbedaan individu dan keputusan-keputusan personalnya sangat dihargai seperti orang-orang beragama menjunjung firman-firman dalam kitab sucinya.

(2) Non-destruktif tapi agresif dan progresif. Masyarakat ini memandang agresivitas, progresivitas dan destruksi merupakan hal wajar dalam kehidupannya. Situasi masyarakat ini penuh dengan kompetisi dengan manuver dan strategi untuk mempertahankan hidup. Persaingan tidak mengarah pada konflik karena masih bisa dikelola dengan baik. Masyarakat model ini sebagian besar terdiri dari anggota yang individualistik, eksklusif dan tidak saling mempercayai satu dengan yang lain. Mereka berjuang sendiri-sendiri untuk bertahan dan menjaga kelangsungan hidup.

(3) Destruktif. Karakter sosialnya adalah merusak, brutal, berprasangka buruk, intoleran, penuh dengan dendam, pengkhianatan dan permusuhan. Pada masyarakat ini sering terjadi persaingan dan dapat berujung pada perpecahan. Perang dalam segala bentuk bagi mereka adalah kelaziman dan dibenarkan menurut cara pandang tertentu. Bias dari tipikalitas masyarakat ini adalah kuatnya sikap dan rasa pesimis yang dominan terhadap bangsa. Pada fase akut, mereka kerap mengapitalisasi bangsa sebagai ruang dan tempat pengekspresian bentuk-bentuk protes, rasa penyesalan, putus asa dan tindakan-tindakan fatalistik. Banyaknya kritik vulgar yang mengundang friksi dan konflik, demonstrasi dan protes yang ekstrim, sporadis dalam memberitakan informasi, serta ancaman separatis dan desintegrasi, merupakan bentuk tantangan yang mesti dihadapi dan dikelola secara serius oleh negara (juga termasuk Gereja).

Popper mengisyaratkan, masyarakat jenis ini cenderung semakin tertutup (closed society), isolatif, eksklusif dan fundamentalistik bila tidak ada upaya ‘terbuka’, baik yang diusahakan oleh internal masyarakatnya, maupun gerakan normalisasi oleh negara melalui berbagai bentuk diskursus atau literasi.

Ancaman internal bangsa Indonesia saat ini adalah fenomena menguaknya tipikalitas masyarakat destruktif. Dari perspektif tata kelola konflik, salah satu indikator negara yang kuat adalah ketika mampu mengatasi berbagai bentuk gejala destruktif, dan mengonversi gejala tersebut menjadi kekuatan perekat soliditas berbangsa.

Ada banyak negara bangsa yang hari ini tetap berdiri tegak dan bahkan menjadi besar, justru karena telah cerdas melewati berbagai tantangan internal bangsanya. Kecerdasan tersebut mungkin terletak pada asas bahwa negara tidak boleh kalah! Dan cara menatanya adalah tetap mengedepankan prinsip yang keras, tetapi bijak dalam cara penyelesaiannya (fortiter in re, suaviter in modo).

Penyelesaiaan berbagai gejala destruksi mesti mempertimbangkan berbagai pendekatan seperti kemanusiaan, kultural, sosio politik, sosio-ekonomi, dll., sehingga masyarakat merasakan perhatian dan keadilan. Pengelolaan dan penyelesaian konflik mesti tetap berbingkai pada persatuan dan kesatuan bangsa.
Sebagai bagian dari rumah Indonesia, Gereja punya tugas dan tanggung jawab untuk selalu menggagas literasi dan diskursus persatuan.

Upaya-upaya ini merupakan bagian dari pendekatan Gereja sebagai lembaga sosial untuk terus mengejahwantahkan keberadaannya dalam membawa keselamatan ‘sekarang’ dan ‘di sini’ (hic et nunc). Sebagaimana Yesus telah hadir di dunia dengan politik keberpihakan pada persatuan, keadilan, dan kedamaian, maka Gereja lokal mau tidak mau, juga berikhtiar menjadi representasi keberpihakan tersebut pada kehidupan masyarakat di Indonesia (Rosariyanto, 2014).

Imperatifnya, gereja perlu senantiasa mengafirmasi kembali status hakekatnya sebagai garam dan terang di dunia, dengan terus terlibat aktif menggagas dan memelihara persatuan dan kesatuan negara bangsa Indonesia.

Signifikansi keterlibatan Gereja dalam permasalahan aktual dan kontekstual akan semakin menggaungnya proklamasi keselamatan pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Literasi dan diskursus persatuan bangsa adalah bagian integral dari upaya mengamankan Indonesia dari berbagai manifestasi rongrongan destruktif.

Literasi dan diskursus persatuan yang intensif dan berkelanjutan, bisa menjadi pintu masuk bagi Gereja untuk mentransformasi tipologi masyarakat destruktif menuju pada masyarakat yang mencintai persatuan. Seturut konteks praksis gerejani,  literasi dan diskursus persatuan yang berkelanjutan akan mengembangkan beberapa ‘buah roh’ kebaikan, seperti:

(1) Keterhubungan. Kebaikan muncul ketika Gereja dan umatnya berani keluar dari ghetto egosentrisme dan status quo, serta berani membaur dengan agama lain dalam suasana cinta, persaudaraan, perhatian, tanggung jawab, penghargaan, dan pengertian. Dalam hal ini, gereja dan umatnya harus tetap menjalin konektivitas, sinergisitas dan kolegialitas dengan pihak/agama lain;

(2). Keberakaran. Kebaikan bisa menyata ketika Gereja sepenuh hati memenuhi kebutuhan dasar rohaniah umat sehingga membuatnya nyaman, bahagia, serta kreatif dalam mengembangkan diri. Keberakaran gerejani mesti didasarkan pada soliditas dan solidaritas yang kuat dengan umat; mengerti dan paham secara detail apa yang menjadi kebutuhan umat;

(3) Menjadi pencipta dan pemelihara. Kebaikan yang muncul ketika gereja dan umat menyadari diri dan lingkungan, serta mengusahakan kelestarian kehidupan. Di satu sisi, Gereja berupaya ‘mengada’ dengan mencipta dan membangun, dan berjuang mengatasi keterbatasan dan kekurangan hidup umat, tetapi di sisi lain, dia harus berupaya menjaga dan memelihara keutuhan ciptaanNya. Kesetaraan kegiatan mencipta dan memelihara menjadi penting demi keberlanjutan dan keseimbangan kehidupan di kosmos;

(4) Kesatuan. Kebaikan ini akan tersemai ketika Gereja/umat selalu berikhtiar menyatukan dan mengidentifikasi diri dengan sesama dan lingkungan hidup. Keduanya mampu berbagi cinta dan  kebahagian kepada orang lain melalui berbagai kegiatan yang produktif dan konstruktif, termasuk menghargai perbedaan-perbedaaan yang menjadi ciri khas dari orang atau komunitas tertentu.

(5) Identitas. Kebaikan akan terajut juga ketika Gereja memampukan umat agar mandiri, mengontrol nasib sendiri, membuat keputusan, dan percaya diri sebagai pemilik kehidupan, serta bebas dari segala tekanan, ketergantungan dan parasitas yang merusak.

Oleh: Dr. Marianus Mantovanny Tapung
(Dosen Unika Indonesia St. Paulus Ruteng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI