Headline News

Bunuh Diri di Manggarai, Gereja Perlu Buat Apa?


Matakatolik.com-Dalam dua tahun terakhir, terjadi 16 peristiwa bunuh diri di Manggarai Raya. Kejadian yang diduga seperti wabah senyap (silent epidemic) (Elfrida, Pos Kupang.com, 21/02/2018) ini,  tidak saja menjadi beban bagi masyarakat/umat, tetapi juga bagi gereja lokal keuskupan Ruteng.

Sedikit miris, di tengah gencarnya literasi dan edukasi tahun pelayanan (diakonia), gereja sebagai lembaga iman berikut lembaga sosial belum memberi ‘sekadar’ komentar dan tindakan yang berarti terkait dengan masalah ini.

Dengan kata lain, dalam perspektif dialektika, gereja belum signifikan dalam membuka ruang diskursus sosial, moral maupun spiritual tersebab rentetan bunuh diri ini.

Padahal, jika dilihat dari sisi kegawatan dan dampak sosial, kasus bunuh diri telah menciptakan manifestasi dan latensi trauma dalam diri umat/masyarakat, baik pada orang tua maupun anak-anak.

Kontrasnya, di tengah  karateristik masyarakat Manggarai sebagai migran sosial yang sedang bertransisi menuju peradaban modern dalam beberapa dimensi kehidupannya, kasus yang dicirikan sebagai bagian dari perilaku menyimpang ini (Horton & Hunt, 1996), dianggap mengguncang ‘sebentar’ saja.

Berita bunuh diri hanya menjadi viral di media sosial berikut mainstream, dan saat ada berita lain yang menimpali, kejadian tersebut pun lantas hilang tak berbekas, tanpa meninggalkan efek jera dan efek makna.

Seturut kajian sosiologis, bila kasus bunuh diri terjadi pada tipologi masyarakat permisif dan individualistis, maka akan dianggap sebagai sebuah kejadian sepele.

Bahkan pada masyarakat ini, terjadi sejenis kesepakatan kolektif di bawah sadar untuk tidak atau belum memikirkan tindakan-tindakan khusus pencegahan maupun pemulihan bagi mereka yang terpapar langsung maupun tidak langsung. Jadi, semacam ada pembiaran yang terstruktur walau tidak disadari (bandingkan konsep ‘Alam bawah sadar kolektif’ dari Carl G. Jung,1875-1961). 
 
Di satu sisi, sudah pasti kondisi ketidaksadaran masyarakat seperti ini tidak memungkinkan terbentuknya ruang dan kesempatan untuk menguak akar penyebabnya. Sementara di sisi lain, dampak-dampak tak terlihat dari  wabah senyap bunuh diri akan terus menggerogoti kehidupan masyarakat, bila tidak segera ditangani.

Ada beberapa dampak yang tidak disadari dari rentetan wabah senyap ini, yakni: Pertama, secara psiko-sosial, masyarakat/umat akan berada pada suatu kondisi ‘pembiaran perilaku menyimpang’ dan merasa ‘gangguan pasti akan pergi’.

Namun rupanya tidak semudah itu. Meskipun untuk sementara waktu gangguan sudah berlalu, tetapi tidak disadari, benih gangguan masih tetap ada dan mengakar.

Bila suatu waktu ada pemantik atau pemicu, maka gangguan tersebut akan muncul lagi, bahkan dalam eskalasi yang lebih besar. 

Pada masyarakat yang kental dengan sikap indiferen, ketika berhadapan dengan gangguan yang berulang, cara mengatasinya lazim menggunakan pendekatan ‘pemadam kebakaran’.

Sementara, dari segi tata pamong modern terkait pengendalian masalah sosial, tindakan-tindakan ‘pemadam kebakaran’ sangat tidak efisien dan efektif. Bukan saja modal, tenaga, dan waktu yang akan habis percuma, tetapi kebatinan masyarakat/umat akan terbebani karena menghadapi masalah yang sama dari waktu ke waktu. 

Kedua, secara pato-sosial, bisa saja berlaku mata rantai seperti ini, bahwa luka ‘trauma’ yang belum disembuhkan dengan baik dan benar, bisa berpontensi menimbulkan luka/penyakit baru dalam satu tubuh masyarakat.

Efek dari kejadian bunuh diri, mungkin saja tidak terdeteksi secara kasat mata, tetapi dengan adanya diagnosa terhadap kondisi trauma akan memberi narasi mengenai adanya hubungan satu peristiwa yang terjadi pada seseorang dengan peristiwa lain yang terjadi pada orang lain.

Bila ditelisik, perkasus bunuh diri, seolah-olah memiliki similiaritas, baik dari segi modus, locus maupun komplikasi pemicunya.

Saat ini, modus dengan cara menggantung leher pada seutas tali atau locusnya di rumah atau kebun, belum mendesak untuk disoal.

Namun bila dilihat dari sisi pemicu, terdapat beberapa soal lain yang menjadi gerbong penggerak, antara lain: ekonomi, situasi keluarga, pergaulan (afeksi), gaya hidup, depresi dan rendahnya sikap kritis dalam bermedia sosial.

Gerbong-gerbong pemicu ini tentu tidak berdiri sendiri. Mereka memiliki hubungan mata rantai sehingga memiliki daya dorong dalam mengontruksi rancangan bunuh diri.

Saling sengkarutnya gerbong-gerbong masalah ini diduga menjadi embrio yang potensial untuk suatu rancangan bunuh diri yang efektif. Satu gerbong masalah bisa menjadi pelatuk bagi masalah lain, sampai berakumulasi pada tindakan bunuh diri.

Ketiga, secara psiko-somatik, ada rangkaian hubungan yang simultan, linear dan simetris (meski tidak begitu erat), antara pencipta trauma (produsen/para pelaku bunuh diri), dengan ‘pengonsumsi’ trauma (konsumen/pihak yang terpapar).

Selain para konsumen adalah mereka yang berada di lingkungan dekat dan berhubungan darah dengan para pelaku bunuh diri, juga masyarakat umum.

Bila hubungan semi linear-simetris ini tidak diputuskan dengan berbagai tindakan seperti trauma healing, rehabilitasi atau terapi moral-spiritual, maka bisa jadi pada titik yang paling fatal, para konsumen bertransformasi menjadi produsen (prosumer).

Mereka akan menjadi pelaku bunuh diri baru yang potensial. Sebagaimana ruang psikologis yang sebagian besar jarang bisa dibaca dan diraba dengan mata telanjang, maka rangkaian hubungan ini pun kurang disadari, sehingga agak sulit untuk deteksi dini.

Sementara kesimpulan yang retrospektif dan postfactum-lah yang kemudian akan mengafirmasi tentang hubungan yang tidak terlihat ini dan mengonfirmasi mengenai akibat silmultan dari hubungan psikosomatiknya.

Dengan demikian, kajian psikosomatik ini akan mematahkan dalil-dalil irasional berbasis mitis magis terkait penyebab seseorang bunuh diri.

Misalnya, dalil tentang adanya kekuatan supranatural atau daya guna gelap yang ‘menyuruh’ seseorang pada upaya bunuh diri, atau mempersoalkan kontribusi negatif dari anasir-anasir suatu lingkungan tertentu (tanah, air, udara, pohon, dll), atau terkait adanya hubungan genealogis yang buruk (dara ta’a) dari para pelaku. 

Lalu, apa yang mesti di lakukan gereja lokal? Salah satu tugas dan tanggung jawab gereja selain koinonia, martyria, liturgia, adalah diakonia.

Diakonia sebagai bentuk pelayanan kasih kepada dan untuk kesejahteraan bersama. Lewat diakonia, peran gereja tampak pada upaya mengambil bagian dari pergumulan sosial yang dihadapi masyarakat/umatnya.

Dalam diakonianya, selain berusaha menyelesaikan masalah jasmani, seperti kemiskinan, orang sakit, orang terpinggirkan dalam relasi, gereja juga turut terlibat dalam menyelesaikan berbagai mata rantai masalah sosial yang terjadi di tengah umat (Banawiratma & Mueller, 1993).

Dengan inspirasi yang dialektis antara “teks” dan “konteks”, gereja lokal harus turun tangan untuk menyelesaikan  wabah senyap ini, yang merupakan akumulasi dan komplikasi dari silang sengkarutnya persoalan hidup umat.

Dalam hal ini, pelayanan gereja lokal perlu merujuk pada pelayanan Yesus yang berpihak pada mereka yang tidak memiliki kekuatan mental, moral, sosial, ekonomi, politik maupun spiritual.

Fenomena bunuh diri di Manggarai, selain merupakan tugas dan tanggung jawab gereja dalam menyelesaikannya, tetapi juga peluang dan tantangan dalam melakukan pelayanan.

Gereja tertantang untuk wajib menyelesaikan masalah ini secara komprehensif dan holistik.

Gereja harus memuka ruang dialogis, diskursus dan kajian-kajian yang mendalam terkait simpul-simpul masalah pada umat.

Bila direspon dan ditangani dengan baik, kasus bunuh diri bisa menjadi salah satu kesempatan lain bagi gereja untuk mewartakan dan menghadirkan keselamatan Allah ‘di sini dan sekarang’. 

Untuk itu, sebagai pintu masuk pada penanganan yang komprehensif dan holistik, maka salah satu optio fundamentalis, perlunya membuka ruang dialog, diskursus dan kajian ilmiah yang intensif dan berkelanjutan.

Dialog, diskursus dan kajian ilmiah yang intensif dan berkelanjutan bisa melibatkan para pihak yang dianggap mumpuni dalam bidangnya, semisal psikolog, dokter/ahli jiwa, orang tua, pendidik, dan tokoh agama/masyarakat dan pemerintah setempat.

Oleh: Dr. Marianus Mantovanny Tapung
(Dosen Unika Indonesia St. Paulus Ruteng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI