Headline News

Bom Bunuh Diri di Pintu Idul Fitri


Goris Lewoleba

Matakatolik.com-Hari-hari ini, di belahan dunia manapun, tidak terkecuali di negara kita Indonesia tercinta, hampir semua orang sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Meskipun Perayaan ini merupakan Hari Raya ikonik pemeluk Agama Muslim, tetapi dalam sudut pandang interaksi sosial, Idul Fitri selain sebagai Perayaan Hari Raya Keagamaan, tetapi juga  sudah menjadi semacam  Perayaan kultural, karena telah melibatkan rasa sukacita bagi hampir sebagian besar masyarakat Indonesia yang merayakannya dalam pembauran budaya yang heterogen.

Sesungguhnya, hakikat Hari Raya Idul Fitri, dengan meminjam Prof. HM. Baharun (2019), adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill menundukkan nafsu, kita dapat kembali ke Fitrah (Idul Fitri).

Idul Fitri ini juga populer dengan sebutan Lebaran. Lebaran dari akar lebar, maknanya tentu saja agar di Hari Raya kita harus berdada lebar (lapang dada).

Sifat lapang dada untuk meminta dan sekaligus memberi maaf (al-'afwu : pemecahan, yaitu menyimpan kesalahan) bagi sesama.

Hari Raya Idul Fitri merupakan momentum untuk menyempurnakan hubungan vertikal dengan Allah (hablun minallah) dan membangun hubungan sosial yang baik (hablun minnannas) secara horizontal .

Bom Bunuh Diri

Hari Senen Tanggal 3 Juni 2019, di ambang pintu Hari Raya Idul Fitri, terjadi Teror Bom Bunuh Diri di Polpos  Kartasura, Sukoharjo dengan pelaku tunggal Rofik Asharuddin (22) tahun.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa teror bom merupakan tindakan di luar perikemanusiaan dalam tuna moral, tanpa melihat kapan teror bom itu dilakukan, apakah saat itu sedang Perayaan Ekaristi  Misa Natal di Gereja,  ataupun menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Melihat gambar pelaku Bom bunuh diri (yang tidak meninggal) itu, tampak terasa bahwa dunia peradaban sekali lagi tertusuk oleh  gambar mengerikan dari terorisme.

Jaringan teroris merupakan jaringan kekerasan yang sasarannya adalah merebut monopoli kekerasan untuk dapat memegang hegemoni atas kekerasan itu sendiri.

Terorisme menjadikan kekerasan sebagai sarana efisien untuk mencapai tujuan politik.

Haryatmoko (2009), mengatakan bahwa, kekosongan nilai yang tercermin dalam  prinsip " tujuan menghalalkan cara" memungkinkan kegilaan nihilisme.

Korban justru dianggap sebagai ukuran keberhasilan atau bagian dari sasaran strategis.

Jurgen Habermas (2003) mencatat bahwa, hal yang paling membahayakan adalah terorisme yang berdimensi global. Artinya terorisme yang tidak lagi terkait dengan hal hal yang bersifat partisan, seperti perjuangan untuk kemerdekaan, tetapi "terorisme yang  tanpa tujuan yang realistis".

Mereka biasanya memanfaatkan delegitimasi pemerintahan untuk melakukan destruksi yang paling  besar. Karena itu mereka tidak pernah peduli dengan obyek dan kuantitas korban yang diakibatkan oleh aksi mereka.

Bahkan mereka tidak pernah peduli jika aksi mereka bertentangan dengan nilai-nilai suci ketuhanan dan kemanusiaan seperti situasi menjelang Hari Raya Idul Fitri ini.

Perayaan Toleransi

Hampir setahun ini, masyarakat kita mengalami kelebihan beban sosial dan politik karena kampanye Pemilu (Pileg dan Pilpres) yang relatif lama dan melelahkan.

Kelelahan masyarakat kita tidak hanya disebabkan oleh lamanya kampanye Pemilu, tetapi lebih dari pada itu adalah terjadinya friksi sosial dan politik yang tajam karena adanya perbedaan preferensi dan pilihan politik.

Jika diamati secara seksama, friksi dan  perbedaan ini justru diciptakan oleh elit politik dengan mengorbankan harmonisasi masyarakat akar rumput yang selama ini terjalin dengan sangat baik sebagai ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya.

Hal lain yang turut menjadi keprihatinan kita semua adalah adanya intervensi dari sekelompok masyarakat yang membonceng Pemilu sebagai "penumpang gelap" dengan hidden agenda untuk mengganti ideologi Pancasila dengan Ideologi Khilafah sebagai ideologi  import transnasional.

Mereka telah mencoba mendesain kerusuhan untuk menciptakan chaos, tetapi masyarakat bersama aparat keamanan dalam hal ini TNI dan POLRI telah dengan  sangat sigap menuntaskan mereka secara mantap dan terukur.

Ketika tiba saatnya, Hari Raya Idul Fitri, hampir semua kekuatan dari elemen masyarakat Indonesia  bersatu padu dalam sukacita dan kegembiraan merayakannya dengan semarak penuh toleransi.

Kita semua bisa menyaksikan di berita media mainstream maupun di media sosial, betapa semua tokoh masyarakat dari semua agama ikut merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan saling bersilaturahmi sebagai ungkapan Perayaan Toleransi antar umat beragama.

Kita dapat menyaksikan pula, bagaimana indahnya kebersamaan dalam Toleransi ketika beberapa Bapa Uskup di Indonesia bersama rombongan para Pastor dan Rohaniawan/wati bersilahturahmi dengan para Tokoh Agama dan masyarakat yang merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Melalui situasi dan nuansa seperti ini, telah dapat memberikan resonansi dan kekuatan moral dan sosial yang besar bagi semua masyarakat Indonesia yang semakin bersatu, hidup rukun dan damai.

Dengan demikian, maka momentum Hari Raya Idul Fitri ini telah mendamaikan suasana kerusuhan akibat Pemilu 2019; dan menghapus memori kelam masyarakat terkait dengan Bom bunuh diri di ambang pintu Idul Fitri.

Penulis: Goris Lewoleba, Alumnus  KSA X LEMHANNAS  RI, Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA.

Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI