Viktus Murin saat menerima penghargaan sebagai Tokoh Kristiani 2018 Pilihan Majalah Narwastu.
Matakatolik.com - Polemik wisata halal di NTT terus bergulir di ranah nasional. Tokoh Kristiani Tahun 2018 Pilihan Majalah Narwastu, Viktus Murin, mengimbau pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pariwisata, lebih khusus lagi Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo untuk lebih sensitif dengan budaya toleransi antar umat beragama di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Pasalnya, sosialisasi wisata halal yang dilakukan oleh Shana Fatina, Dirut BOP Labuan Bajo, telah melukai bangunan dan budaya toleransi di NTT.
Dihubungi ke ponselnya, Sabtu (11/5/2019), Viktus mengaku geram dengan wacana wisata halal yang digulirkan oleh pimpinan BOP Labuan Bajo, yang akhirnya memantik situasi disharmoni dan keresahan umat beragama di NTT, khususnya masyarakat di Pulau Flores yang secara sosiologis merupakan wilayah berbasis Katolik.
Viktus yang juga Wakil Sekjen DPP Partai Golkar ini menegaskan, sosialisasi wacana wisata halal di NTT merupakan kecerobohan yang akut, sebab telah memicu rusaknya bangunan dan budaya toleransi umat beragama di tengah masyarakat Flores dan NTT umumnya.
Sekretaris Badan Kajian Strategis dan Intelijen (Bakastratel) DPP Partai Golkar ini menjelaskan, setelah mengkaji subtansi dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores, tidak ada perintah apapun di dalam Perpres tersebut yang memerintahkan perlunya sosialisasi wisata halal.
"Itu artinya otoritas BOP Labuan Bajo telah bertindak ceroboh dengan mewacanakan wisata halal di NTT. Saya yakin otoritas BOP Labuan Bajo tidak memahami dimensi psiko-sosial dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Flores dan NTT umumnya. Tendensi untuk melakukan formalisasi wisata halal itulah yang merusak harmoni sosial dan toleransi di NTT," tegas Viktus.
Sekjen Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 1999-2002 dan Sekretaris GMNI Cabang Kupang periode 1993-1996 ini mendukung sikap tegas Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat dan Wagub NTT Josep Nae Soi yang telah menolak tegas upaya pelabelan wisata halal di wilayahnya.
Penolakan serupa juga datang dari hirarki Gereja Katolik yakni dari Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, Mgr Silvester San, yang juga Uskup Keuskupan Denpasar.
Penolakan serupa juga muncul dari kalangan legislator, akademisi, LSM, aktivis pergerakan mahasiswa, dan berbagai elemen masyarakat di NTT maupun warga NTT diaspora.
Viktus menilai, reaksi penolakan yang massif merupakan manifestasi "legacy moral publik" untuk menjaga iklusivitas budaya toleransi di NTT.
Wisata halal, lanjut Viktus, adalah sesuatu yang beraroma ekslusif oleh pemerintah daerah dan masyarakat NTT, sehingga spontan ditolak.
"Penolakan wacana wisata halal di NTT hendaknya menjadi pelajaran bagi otoritas pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pariwisata, lebih khusus lagi BOP Labuan Bajo, agar memahami fakta pluralisme keindonesiaan secara lebih tuntas," tegas Viktus yang pernah menjadi wartawan Pos Kupang pada era awal 1990-an.
Viktus mengatakan, masyarakat NTT telah teruji dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia, sangat mencintai persatuan nasional dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, lanjut Viktus, masyarakat NTT tidak akan menodai kecintaan kepada Republik ini hanya gara-gara wacana sensitif wisata halal.
Viktus mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pariwisata untuk menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dalam pembangunan pariwisata di NTT, dengan memperhatikan karakteristik kearifan lokal yang hidup dan tumbuh berakar di NTT.
"Hentikan sosialisiasi wisata halal di NTT sebab hal itu pasti merusak bangunan dan budaya toleransi di NTT. Masyarakat NTT tidak memerlukan formalisme dalam hal praktek toleransi, sebab toleransi sudah menjadi budaya hidup, ibaratnya sudah mendarah daging," tegas Viktus, pria berdarah Lembata dan Flores Timur, dua wilayah kabupaten yang juga sangat kental budaya toleransinya.
Pertalian Darah, Akar Toleransi di NTT
Secara khusus Viktus mengimbau warga bangsa di luar komunitas NTT untuk dapat memahami penolakan wacana wisata halal dari warga masyarakat NTT. Hal tersebut beralasan, sebab masyarakat NTT tidak mau bangunan dan budaya toleransi justru rusak oleh formalisme regulasi yang tendensius dan berpotensi memicu intoleransi.
Menurut Viktus, umat beragama di NTT, khususnya umat Kristiani dan umat Islam sudah hidup berdampingan dengan penuh kedamaian secara turun-temurun.
Tradisi toleransi itu, pada mulanya berawal dari adanya ikatan kekerabatan atau pertalian darah sebagai akibat relasi kawin-mawin.
Viktus Murin bersama Dirjen Bimas Katolik, Eusebius Binsasi, dalam momen acara pemberian penghargaan Tokoh Kristiani 2018 pada 11 Januari 2019 di Graha Bethel Jakarta Timur.
"Tradisi toleransi berbasis pertalian darah inilah yang kemudian berkembang menjadi budaya hidup masyarakat NTT. Bahkan warga Muslim yang datang dari luar NTT pun diperlakukan seperti saudara-saudari sendiri selama bisa menghargai toleransi yang telah hidup, berakar, bertumbuh secara alamiah," papar Viktus, Sarjana Pendidikan jebolan FKIP Undana Kupang tahun 1995 ini.
Dari perspektif yang lebih ideologis, Viktus menegaskan penolakan warga masyarakat NTT terhadap wacana sensitif seperti wisata halal, sangat terang dan jelas yakni menjaga kearifan lokal demi tetap kokohnya kemajemukan keindonesiaan.
"Sikap ini justru untuk menjaga agar negara-bangsa Indonesia ini tetap berdiri kokoh di tengah kemajemukan, dan tidak tersekat-sekat akibat regulasi formal pemerintah yang bernuansa sektarian dan atau pengkotakan-kotakan," tegas Viktus yang juga Direktur Lembaga Kajian dan Aksi Kebangsaan (LKAK).
Masyarakat NTT khususnya Flores, lanjut Viktus, meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila digali oleh mendiang Bung Karno saat diasingkan oleh penjajah Belanda ke Ende-Flores. Jadi, apapun regulasi negara yang bertendensi merusak kerukunan dan toleransi masyarakat NTT, pasti akan ditolak secara tegas oleh masyarakat dan pemerintah di NTT.
"Pancasila bagi warga NTT bukan hanya sekedar dilihat sebagai dasar negara secara formal, tetapi sudah merupakan genetika sosiologis, bagian dari budaya hidup masyarakat NTT," pungkas Viktus yang pernah menjadi Tim Ahli Menpora/Tim Asistensi Kemenpora pada era kepemimpinan tiga Menpora yakni Adhyaksa Dault, Andi Malarangeng, hingga Roy Suryo.
Matakatolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar