Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia(Polri) akan menggerakkan 4.520 personel keamanan, guna untuk mengamankan, pemimpin...
Solusi Untuk Anda!
Setara Institute: Hentikan Eksklusi atas Minoritas
Matakatolik.com-Setera Institute menyerukan agar menghentikan eksklusi terhadap kaum minoritas di seluruh Tanah Air. Seruan ini berkaitan dengan adanya penolakan terhadap keluarga Slamet Jumiarto di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Slamet Jumiarto sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 8 dan warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul karena yang bersangkutan non-Muslim.
Namun akhirnya Slamet Jumiarto dan keluarga diperbolehkan tinggal di dusun tersebut.
Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengatakan aturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, akhirnya dicabut.
"Meskipun sebenarnya secara substantif SK tersebut harus batal demi hukum, karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori," kata Halili.
Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah.
Tentu ada proses yang rumit sebelum keputusan akhir diambil secara relatif cepat.
Dalam konteks itu, SETARA Institute memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut.
Menurut Setara Institute, standing position Bupati Bantul ini bukan sikap pertama yang menunjukkan kuatnya perspektif toleransi. Sebelumnya sikap dengan nada yang sama juga ditunjukkan dalam kasus penolakan Camat Pajangan oleh warga karena yang bersangkutan non-Muslim.
Juga dalam kasus perusakan persiapan sedekah laut oleh kelompok intoleran.
"Setara Institute juga menjurakan tabik kepada Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY, yang melalui Sekda DIY menyampaikan sikap toleran yang sama dan menyatakan bahwa aturan tersebut mesti dibatalkan. Juga kepada DPRD DIY dan lebih-lebih elemen masyarakat sipil DIY atas inisiatif yang baik untuk menghadirkan keadilan bagi korban," ujar Halili.
Atas situasi tersebut, SETARA Institute memberikan pernyataan sebagai berikut.
Pertama, aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret.
Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT.
Ketentuan-ketentuan demikian nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan.
SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.
Kedua, belajar dari kasus Pleret Bantul, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet.
Dusun Karet bukan gejala unik. Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu.
Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan.
Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.
Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia.
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar