Headline News

Hari Air Sedunia, Mari Hormat Penuh Takzim Pada Air


RP Andre Bisa OFM

Matakatolik.com - Hari Air Dunia (HAD) diperingati setiap tanggal 22 Maret, pada tahun 2019 mengangkat tema internasional
“Leaving No One Behind” yang diadaptasi dalam tema Indonesia “Semua Harus Mendapatkan Akses Air”.

Tentang air bersih, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sudah mengamanatkan bahwa itu harus dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

Produk hukum untuk menerjemahkannya pun ada. Misalnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.

Jika merujuk adab antarbangsa, Indonesia sebagai anggota PBB yang menyetujui Resolusi PBB 2010, tentang akses terhadap air bersih sebagai hak asasi manusia, harus menjamin ketersediaan itu (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, 2014).

Di dalam komitmen itu, partisipasi langsung dari masyarakat, akademisi, dan swasta untuk ikut menjaga kelestarian dan ketersediaan air sangat diperlukan.


Itulah yang dilakukan oleh “Ekospastoral Fransiskan”, sebuah pusat pelayanan ekologis di bawah Justice, Peace and Integrity of Cretaion (JPIC) OFM Indonesia, yang berada di Pagal, Manggarai-NTT.

Bahkan dalam rangka menyambut HAD 2019, mereka bekerja sama dengan pemerintah kecamatan Cibal Barat serta sejumlah instansi dan organisasi terkait melakukan berbagai kegiatan animasi dan konservasi untuk memastikan ketersediaan air sebagai sumber kehidupan.

Matakatolik.com berkesempatan mewawancarai pimpinan Ekopastoral Pagal, RP Andre Bisa OFM, terkait sejumlah kegiatan yang sudah mereka lakukan. Berikut petikan wawancaranya.

Apa saja yang sudah dilakukan Ekopastoral Fransiskan untuk merayakan Hari Air Sedunia 2019?

Pada 2 Maret 2019 lalu, kami ekopastoral Fransiskan bekerja sama pemerintah kecamatan Cibal Barat dengan melibatkan sejumlah instansi dan organisasi seperti: Satuan Kepolisian Sektor Cibal, Para Kepala Desa se-Kecamatan Cibal Barat beserta perangkat desa, UPT se-Kecamatan Cibal Barat, Pendamping PKH Kec. Cibal Barat, dan Komunitas Pemuda Pecinta Alam Cibal Barat, telah merencanakan dan menyepakati perayan sejumlah peringatan hari lingkungan hidup sepanjang tahun 2019 ini.

Tentu tidak sekadar seremonial. Kami juga melakukan animasi seperti penanaman nilai ekologis, kultural dan spiritual terkait peran vital air bagi kehidupan. Lalu ada konservasi dengan pola bioteknis dan biofisik.
Pada pola konservasi bioteknis, Ekopastoral menyediakan 225 pohon konservasi (Mani’i, Gayam, Beringin, Ratung, Sita, Ara, serta beberapa jenis pohon buah-buahan).

Sementara pada pola konservasi biofisik, kita mengintervensi tanah dengan membuat jebakan air.

Apa yang mau diperjuangkan dari kerja sama konservasi seperti ini?

Hemat saya, sebagai saudara dina Fransiskan kami terpanggil untuk menghadirkan kesaksian terkait tugas dan tanggungjawab manusia untuk menjaga dan melestarikan saudari Ibu Pertiwi ini, dan salah satunya adalah mewariskan mata air dan bukan air mata bagi anak cucu. 


Olehnya kami merasa kerjasama yang terbangun antara Ekopastoral Fransiskan dan Pemerintah Kecamatan Cibal Barat pada perayaan ini sesungguhnya punya dasar. Pertama, mewariskan mata air demi menciptakan keuntungan ekonomi, mengingat semua aktivitas ekonomi bergantung sepenuhnya pada air. Air berperan sebagai penopang ekonomi komunitas manusia, orang dapat berbagi dan memanfaatkannya bersama sebagai sumber daya komunal.

Kedua, mewariskan mata air dengan aksi nyata membantu pemeliharaan sumber daya air dan perlindungan pada lingkungan hidup. Dalam kerangka ini, dibutuhkan sharing pengetahuan tentang ilmu air, data ketersediaan air  dan pertukaran informasi, strategi dan managemen praktis terkait perairan dan pelestarian ekosistem.

Ketiga, mewariskan mata air demi membangun perdamaian. Akses air dapat menjadi sumber konflik dan tanda perbantahan tetapi juga dapat menggiring kepada kerja sama membangun perdamaian. Maka, kerjasama mewariskan mata air dilakukan dengan berbagai pendekatan multidisiplin yang memadukan ilmu-ilmu alam, teknik, sosial, pendidikan, budaya dan komunikasi.

Semua harus mendapatkan akses air, itu tema HAD 2019 untuk Indonesia. Refleski dan tindakan seperti apa yang bisa diusahakan dari rumusan tema ini?

Menurut saya, kita sebagai warga bumi digiring kepada sebuah tanggung jawab moral sosial untuk melestarikan air. Tanggung jawab moral sosial ini mensyaratkan adanya penghargaan dan penghormatan penuh takzim pada air bagaikan wanita yang mengandung dan menghidupkan atau “saudari” yang melayani.

Ini model relasi kosmis ala Fransiskus Assisi, yang dalam maha karyanya Kidung Saudara Matahari, menyebut air sebagai Saudari: “Terpujilah Engkau Tuhanku karena Saudari Air, ia rendah hati, berharga dan murni.”


Air digambarkan sebagai kehadiran kewanitaan yang melayani. Pertautan air dan perempuan sebenarnya amat mendasar dalam seluruh hidup dan keberadaan manusia. Ketiadaan air yang berdampak langsung pada kesehatan manusia akan lebih berdampak pada perempuan dan selanjutnya pada generasi penerus yang lahir dari rahim perempuan.

Demikian tanggung jawab moral sosial kita baik secara personal maupun komunal pada peringatan Hari Air  Sedunia ini dapat kita tempuh melalui:

Pertama, pada tingkat nasional. Negara sebagai penjamin utama kesejahteraan umum tidak diperkenankan melalaikan tanggungjawabnya dalam hal kebutuhan vital ini. Memperdagangkan air adalah kebijakan yang bertentangan dengan keadilan sosial, karena kaum pemodal diberi peluang untuk mengambil keuntungan dari kebutuhan vital manusia, sementara banyak manusia lainnya menderita kekurangan air.

Dengan adanya komoditas air, suatu saat kesadaran akan tanggung jawab moral sosial untuk menjaga air bersih, sehat, dan aman yang ada dan tersedia secara natural akan semakin menurun. Padahal selalu dikatakan bahwa agar bisa hidup sehat, orang membutuhkan tiga kriteria air: air bersih, air sehat, dan air yang aman. Itulah standar air konsumsi manusia, hak asasi yang bagaimanapun juga harus dilindungi.

Kedua, tingkat lokal, misalnya melalui konservasi air. Untuk melakukan hal ini, diperlukan perubahan paradigma dan tingkah laku terhadap air. Sederhananya kita perlu berhenti berpikir bahwa ada persediaan air yang tak terbatas yang akan memenuhi setiap kebutuhan dan keinginan kita.

Lalu, konsistensi masyarakat untuk berlaku adil terhadap alam, sekaligus bersama warga masyarakat lainnya mencoba menggali kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat.

Selanjutnya, peran pemerintah daerah dalam tataran pengambilan kebijakan mesti memberi ruang pencerahan bahwa kepedulian terhadap air dan pelestarian merupakan tanggung jawab setiap orang, misalnya soal menjaga kelestarian hutan, penghijauan di daerah penampungan air, atau menanam pohon di lingkungan sekitar agar membantu proses penyerapan air.

Terakhir, hemat dalam penggunakan air seperlunya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikinan setiap pribadi aktif berperan serta dalam usaha kerjasama mewariskan “mata air” dan bukan “air mata” bagi generasi mendatang.

Matakatolik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI