Ferdy Hasiman
Matakatolik.Com-Sektor energy dan pertambangan bisa menjadi jualan politik bagi calon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dalam debat tahap kedua dengan tema energy, infrastruktur, pangan dan Sumber Daya Alam (SDA).
“Untuk debat dengan tema energy dan Sumber Daya Alam, termasuk tambang mineral, pasangan nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) akan lebih unggul dari pasangan no urut 02, Parbowo Subianto. Pasangan 01 dikatakan unggul, karena sejak menjabat menjadi Presiden sejak tahun 2014, Jokowi mampu melakukan terobosan-terobosan penting di sektor energy dan pertambangan Mineral”.
Di awal masa pemerintahanannya, Jokowi langsung menutup anak usaha Pertamina (Persero) yang bermain di pasar trading minyak PT Pertamina Energy Trading atau yang kerap disebut PETRAL. Petral adalah perusahaan yang dituaskan Pertamina untuk membeli minyak dari pusat perdagangan di Singapura untuk menutup konsumsi minyak nasional, karena produksi minyak kita pada tahun 2012-2014 berada di kisaran 900.000 barel oil per daya (BOPD). Sementara kebutuhan konsumsi minyak kita mencapai 1.6 juta BPOD. Itu artinya, Pertamina harus membeli minyak dari pasar trading di Singapura sebesar 700.000 BOPD.
Pembelian minyak ke pasar trading Singapura yang mencapai angka 700.000 barrel inilah yang menjadi pusat perebutan dan permainan para mafia migas. Jadi Petral adalah lahan empuk bagi para mafia migas untuk mendapat banyak uang. Bisnis ini adalah bisnis puluhan triliun. Di masa lalu, mafia migas selalu bekerjasama dengan politisi dan rejim berkuasa. Praktek-praktek seperti itu berlangsung begitu lama dan bahkan sulit dibrantas karena melibatkan pebisnis besar, politisi dan elit-elit berkuasa. Itulah mengapa setiap rejim yang datang paska reformasi sangat sulit menutup Petral.
Pada jaman pemerintahan SBY-Boediono, banyak yang berteriak kencang untuk melikuidasi Petral, tetapi tak sanggup dilakukan. Barulah pada jaman pemerintahan Jokowi-JK mafia migas berhasil diberantas, Petral dilikuidasi, Pertamina melalui Petral tak diijinkan lagi membeli minyak ke pasar trading di Singapura melalui broker atau pihak ke tiga. Pertamina di perintahkan langsung membeli minyak ke pusat perdagangan melalui anak usahanya,Integrated Supply Chain (ISC).
Langkah menutup PETRAL adalah upaya besar dan langkah besar yang tak pernah bisa dilakukan pemerintahan sebelumnya. Kita berharap agar dalam debat sesi kedua yang bertemakan energy dan SDA, dua kandidat presiden saling bertukar pikiran, beradu-argumentasi bagaimana kira-kira nasib ISC ke depan.
Selama menjabat sebagai Presiden, Jokowi memiliki kepedulian besar terhadap nasib perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), di sektor tambang. Itu dibuktikan melalui nasionalisasi blok Mahakam (Kalimantan Timur), Blok Rokan (Riau) dan divestasi perusahaan tambang tembaga dan emas, PT Freeport Indonesia. Selama ini, perusahaan BUMN tambang hanya mengelolah konsensi-konsensi tambang yang tidak terlalu potensial. Perusahaan minyak dan gas milik negara PT Pertamina (Persero) misalnya, hanya mengelolah lapangan-lapangan migas yang cadangannya tak terlalu potensial untuk meningkatkan produksi nasional. Selain itu, Pertamina hanya mengolah ladang-ladang minyak tua yang cadangannya kecil.
Sementara ladang-ladang migas potensial, seperti blok Cepu (Bojonegero), Blok Mahakam (Kalimantan Timur), Blok Rokan (Riau), lapangan Bintuni (Papua) sudah dikendalikan operator-operator minyak asing, seperti Exxon Mobil (blok Cepu), Total E&P (Blok Mahakam), Chevron Pacific Indonesia (Blok Rokan) dan BP Tangguh (Blok Tangguh, Papua). Korporasi-korporasi itu adalah raksasa di sektor migas dunia. Korporasi-korporasi itulah yang turut berkontribusi besar bagi produksi dan lifting migas di tanah air. Sementara, Pertamina hanyalah perusahaan kecil dihadapan raksasa-raksasa itu. Pertamina hanya memiliki 40 persen saham di blok Cepu dan operatornya adalah Exxon Mobil. Wajar jika kontribusi Pertamina terhadap produksi minyak dan gas nasional kecil.
Selain itu, dalam debat ini kita juga berharap agar kedua kandidat memiliki solusi bagaimana mengurangi ketergantungan impor migas yang kerap membebani neraca perdagangan kita. Selama ini kita banyak mengkonsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM), sementara produksi minyak nasional kita sampai tahun 2018 hanya mencapai 775.000 BPOD. Sementara kebutuhan konsumsi dalam negeri mencapai 1.6 juta. Untuk menutup itu kita mau tidak mau harus mengimpor BBM agar masyarakat bisa mengkonsumsi bensin dan solar. Dan yang lebih fatal adalah selama bertahun-tahun, kita dipaksa untuk mengkosumsi apa yang kita tidak miliki.
Liquefied petroleum gas (LPG) adalah contoh nyata. Secara akumulatif, konsumsi LPG kita setiap tahun mencapai 6.7 juta ton per tahun. LPG komposisinya didominasi oleh propana dan butana. LPG ini sering digunakan untuk kebutuhan memasak sehari-hariIronisnya, karakter ladang migas kita yang bisa mengubah gas menjadi LPG hanya beberapa lapangan migas yang ada di Sumatera dan Natuna saja. Pabrik-pabrik LPG kita juga hanya dimonopoli PT Pertamina (Persero) dan hanya menghasilkan sekitar 30 persen kebutuhan LPG nasional. Akibatnya, sisa 70 persen atau sekitar 4 juta ton LPG kita impor dari Timur Tengah. Ini justru membebani neraca perdagangan kita. Jika pemerintintah terpilih nanti tak mampu membuat terobosan, menggeser penggunaan LPG dan memiliki terobosan baru, seperti mendorongan proses gasifikasi batubara yang bisa menggantikan LPG, maka, bisa dipastikan, Indonesia akan mengalami krisis energy akut di tahun-tahun mendatang.
Jokowi memang sudah memiliki instrument kebijakan melalui kementerian ESDM untuk mengubah batubara menjadi gasifikasi. Pertamina dan PT Bukit Asam sudah mulai mengoperasikan pabrik gasifikasi itu. Kita berharap itu dilakukan secara massif, bukan berskala kecil dan diikuti oleh produsen-produsen lain. Tetapi, semuanya itu, tergantung bagaimana pemerintahan baru memiliki instrument yang tepat agar proses gasifikasi batubara itu berkembang pesat.
Kita berharap debat kedua kali ini lebih hidup, cair, dan ada petukaran gagasan. Kedua Capres juga memiliki solusi dan terobosan menarik bagaimana langkah pemerintahan selanjutnya untuk menutupi kelangkaan dan ancaman krisis di sektor energy ke depan.
Ferdy Hasiman: Peneliti Alpha Research Database & Penulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat VS Kedaulatan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar