Moderator dan Para Narasumber
Matakatolik.Com-Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Vox Point Indonesia DKI Jakarta mengadakan diskusi terbuka terkait peristiwa penembakan puluhan pekerja proyek di Nduga Papua awal Desember lalu. Acara diselenggarakan di Sanggar Prathivi Building, Pasar Baru, Sabtu (12/12/2018) siang.
Diskusi dengan tema “Ada Apa di Balik Peristiwa Papua” menghadirkan narasumber yang merepresentasi berbagai aspek yang kurang lebih komprehensif. Ada Peneliti LIPI Khusus Kajian Papua-Adriana Elizabeth, Aktivis Ham dan Koordinator Kontras-Haris Azar, dan Direktur Papua Circle Institute-Hironimus Hilapok, putera asli Papua.
Ketua DPD Vox Point DKI Jakarta, Norben Syukur, dalam pengantarnya menegaskan peristiwa penembakan di Nduga Papua itu merupakan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Karena menyangkut kemanusiaan, sambung Norben, kita semua wajib peduli dan bertanggung jawab. Salah satunya lewat diskusi terbuka seperti ini.
“Saya harap dari narasumber yang kompeten dan diakui treck-recordnya ini, kita semua akan mendapat informasi dan pemahaman yang utuh terkait masalah ini. Apa saja motif penembakan. Mengapa para pekerja yang jadi sasaran. Lalu apa rekomendasi yang bisa kita usulkan kepada para pemangku kebijakan. Dan masih banyak hal yang bisa kita gali dari diskusi ini,” jelas Norben.
Banyak Aspek Saling Berkelindan
Menarik bahwa peristiwa ini terjadi di tengah usaha pemerintah mewujudkan komitmen membangun Papua di bidang ekonomi, khsususnya infrastruktur. Pilihan sasaran penembakan pelaku kepada para pekerja jalan Trans Papua juga memantik sejumlah pertanyaan.
Ketiga pembicara sepakat mengakui sulitnya menjawab tuntas terkait motif tunggal di balik peristiwa penembakan ini. Ada banyak hal yang muncul. Satu sebab terkait dengan banyak aspek lainnya. Faktor ideologis-politis terkait usaha kemerdekaan Papua oleh kelompok tertentu misalnya tidak merepresentasi seluruh kepentingan masyarakat Papua. Ada faktor ekonomi dan sosial-budaya. Ada sentimen ras yang juga kuat. Belum lagi terkait psikologi orang Papua yang belum berdamai dengan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Jadi satu soal berkelindan dengan beragam aspek yang terkait satu sama lain.
“Terlalu simplisitis kalau kita melihat peristiwa penembakan itu terkait dengan ideologi dan politik. Apalagi yang suka bicara ideologi Papua merdeka kan basisnya di Pegunungan Tengah, jauh dari Nduga. Jadi sulit rasanya mengaitkan semua kejadian dengan persoalan ideologis,” jelas Adriana.
Norben Syukur
Adriana melihat pembangunan jalan di Papua oleh Pemerintah di satu sisi patut diapresiasi karena berguna untuk jangka panjang. Tetapi di sisi lain, perlu diimbangi dengan keseriusan negara membangun dialog dan mengerti budaya asli dan filosofi hidup orang Papua.
Haris Azar di lain pihak menyebut peristiwa ini menunjukkan persoalan Papua tidak sekedar masalah material seperti pembangunan jalan. Orang Papua butuh dari negara pembangunan yang immaterial seperti keadilan, penegakan HAM, hormat pada adat dan budaya asli Papua, pengakuan negara atas keberadaan suku-suku asli Papua.
“Pendekatan infrastruktur yang dilakukan Pemerintah tidak cukup memulihkan situasi kekerasan di Papua. Masalah Papua justru melampaui pembangunan fisik. Apa negara sudah serius menyelesaikan masalah HAM di Papua, apa pemerintah sudah serius berdialog dengan semua kelompok dan ras di Papua. Apa hak-hak sosial-administratif mereka sudah dijamin. Jadi negara seringkali absen pada soal-soal yang substansial seperti itu. Padahal baranya justru di situ,” terang Haris Azar menjelaskan.
Dua Rekomendasi Isu
Peliknya persoalan Papua, hemat Adriana, harusnya menyadarkan para pemangku kebijakan, baik pemerintah maupun warga Papua dari berbagai kelompok, untuk berdialog.
“Kita selalu konsisten mengatakan perlunya duduk bersama, kita bicara. Tidak ada ruginya kalau kita dialog. Jika gagal yah tinggal dialog lagi. Apa sih yang dimaksud pemerintah terhadap Papua dan Papua memahaminya seperti apa,” jelas peneliti LIPI khusus kajian Papua itu.
Menurut Hironimus Hilapok sekurang-kurangnya ada dua isu utama yang bisa dijadikan rekomendasi dialog.
Pertama, evaluasi Otonomi Khusus (Otsus). Direktur Papua Circle Institute itu menyarankan perlunya audit dana Otsus oleh BPK dan KPK. Dia juga mendesak Presiden Jokowi untuk berbicara langsung dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai perwakilan resmi masyarakat adat dan orang asli Papua agar mengevaluasi keberadaan Otsus. Menurutnya indikasi penyalahgunaan dana oleh penguasa setempat sudah tercium oleh masyarakat Papua. Sejak digelontorkan pada 2001 hingga 2007, total dana Otsus untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 67 triliun. Besarnya dana Otsus ini tak berbanding lurus dengan angka kemiskinan Papua yang masih tinggi serta Indeks Pembangunan Manusia yang konsisten di urutan paling buncit dalam skala nasional.
“Otsus itu berhasil atau tidak? Nyatanya puluhan triliun rupiah yang dikucurkan tiap tahun tak berdampak pada kesejahteraan warga asli Papua. Jadi Otsus ini tidak berhasil. Karenanya suara Papua merdeka terus ada,” jelas Hironimus.
Kedua, pelanggaran HAM. Papua tidak pernah sepi dari berita pelanggaran HAM. Menurut Hironimus, soal HAM inilah yang harusnya jadi perhatian serius pemerintah. Penyelesasian masalah HAM Papua mendesak dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Praktisi HAM, Haris Azar, menyebut sekurang-kurangnya tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua hanya dalam kurun 2001-2014. Pertama peristiwa Wasior 2001 di mana aparat Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan kepada warga di desa Wonoboi, Waisor-Manokwari Papua. Empat orang tewas, lima orang hilang, dan puluhan orang terluka. Kedua peristiwa Wamena 2003 antara aparat TNI dengan warga kampung setempat yang mengakibatkan 9 orang tewas dan puluhan orang luka berat. Ketiga peristiwa Paniai 2014, lagi-lagi antara TNI dan warga setempat. Lima orang tewas dan puluhan orang terluka.
Ketiga pembicara sepakat dua isu utama ini jadi soal urgen yang segera diselesaikan pemerintah Indonesia untuk Papua. Semua kalangan di Papua harus dilibatkan, diajak duduk bersama, dan mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini. Banyak peristiwa kekerasan harian di Papua, baik yang online maupun offline-diberitakan atau didiamkan, diyakini hanya efek dari dua soal substansial ini.
Diskusi Seri I Vox DKI ini dipandu oleh moderator berbakat Thomas Suwarta, Direktur Direktorat Edukasi dan Pemberdayaan Awam DPN Vox Point Indonesia yang juga adalah jurnalis Media Indonesia. Selain para penasehat dan pengurus DPD Vox DKI, hadir juga Ketua Umum DPN Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati, beserta jajarannya. Masyarakat dan beberapa mahasiswa Papua di Jakarta juga hadir dalam diskusi ini.
Leksi Nantu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar