Headline News

Frans Seda Dari Peternak Sapi Sampai Menteri Pertanian


Ket. Foto: Fransiskus Xaverius Seda

Matakatolik.Com - Fransiskus Xaverius Seda lebih dikenal dengan sebutan Frans Seda. Ia lahir pada tanggal 4 Oktober 1926 di Flores, NTT.

Sesudah tamat SD di Flores (1940), Frans Seda merantau studi ke Muntilan, masuk kolese Xaverius yang didirikan oleh Romo Van Lith.

Sambil belajar, ia menjadi tukang rumput, pengaduk makanan dan pemeras susu pada sebuah peternakan di lereng gunung Merapi.

Setelah dari Muntilan, pendidikannya dilanjutkan di Yogyakarta (1946) dan di Surabaya (1950), dan menyelesaikan doktornya di Katholieke Economische Hogenschool Tilburg, Negeri Belanda (1956).

Frans Seda merintis karir politiknya lewat Partai Katholik. Sepulang dari Belanda ia diminta untuk mendampingi I.J. Kasimo sebagai wakil ketua partai itu. Lantas pada tahun 1961, ia menggantikan Kasimo sebagai ketua umum.

Dari sini karier politiknya terus meningkat. Dari tahun 1960 sampai tahun 1964 ia menjadi anggota MPRS dan DPR-GR. Pada tahun 1963, Seda diminta Bung Karno untuk menjabat menteri perdagangan.

Tetapi Seda menolaknya karena ketua PK yang saat itu menjadi partai oposisi terhadap Bung Karno, alasan lainnya karena ia menganggap usianya saat itu masih terlalu muda.

Tapi rupanya, pada tahun 1964 Frans Seda tak bisa lagi menolak ketika dia diangkat menjadi Menteri Perkebunan oleh Bung Karno.

Lantas ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian (1966), lalu Menteri Keuangan (1966-1968) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973).

Pensiun dari jabatan menteri, Seda lantas dipercaya menjadi Dubes RI di Brussel, untuk Belgia dan Luksemburg (1968-1973), juga merangkap Kepala Perwakilan RI untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dari tahun 1973-1976.

Setelah kembali ke Indonesia, ia dipercaya untuk menjadi anggota DPA dari tahun 1976-1978.

Di bidang pendidikan, Frans Seda juga turut mendirikan Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia pernah menjabat Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (1961), sekaligus dekan Fakultas Ekonomi di sana (1961-1964).

Namanya sebagai usahawan juga cukup dikenal, antara lain karena dia pernah menjabat Presiden Komisaris PT Narisa, pabrik pakaian jadi, juga anggota Komisaris PT Bayer Indonesia, dan anggota dewan komisaris di PT Gramedia.

Lantas pernah juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Perdagangan Tekstil Indonesia. Kegiatan sosialnya juga menonjol.

Ia pernah menjadi anggota Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Iustitia Et Pax) di Roma (1984-1989), serta anggota Dewan Pertimbangan PMI Pusat (1986).

Seperti orang Flores pada umumnya, Frans Seda dikenal terbuka dan suka humor.
Ketika ditanya apa resepnya tetap sehat dan bahagia di usia yang lebih dari 70 tahun, Frans Seda berkata ,"Hidup itu artinya mengabdi pada Tuhan dan sesama." Dalam melakoni hidup yang sering tak terduga ini, menurutnya orang perlu punya sikap nothing to lose.

"Cobalah berbuat baik saja, jangan terlalu takut memikirkan akibatnya," - Frans Seda"

Tokoh dari Timur ini dikenal sebagai tokoh yang memberi sumbangan besar pada perubahan politik dan ekonomi negara Indonesia.

Frans Seda merupakan sosok yang memberi sumbangan pemikiran politik ekonomi dari suatu golongan minoritas agama.

Sosok Frans Seda menjadi besar justru karena berada dalam tantangan (challenge) dalam dirinya, dalam lingkungan sosial, dalam partai katolik, dalam pertentangan kekuasanan dan secara khusus dalam pertarungan politik ekonomi bangsa.

Sosok pribadi Frans Seda sungguh mencerminkan Gereja yang memasyarakat di negara Indonesia.

Frans Seda seorang tokoh yang mencintai Gereja dan Negaranya. Secara khusus beliau memperjuangkan kepentingan rakyat dalam bidang ekonomi dan politik.

Beliau meninggal pada tanggal 31 Desember 2009, sehari setelah Gus Dur meninggal.

Menteri dan penasihat ekonomi era Presiden Soeharto, Emil Salim, memuji ketokohan Frans Seda.

Menurut dia, sosok Frans Seda adalah tokoh gereja, tokoh politik, ekonom, dan pendidik. Frans Seda mempunyai dedikasi dan kontribusi nyata bagi gereja dan NKRI.

“Anda tidak akan pernah tahu kemiskinan sebelum datang ke NTT sekitar tahun 1960. Tetapi, Frans berkata kepada saya, kemiskinan yang sesungguhnya ada di Papua, sehingga dia membawa saya ke sana untuk melihat itu. Itulah makna Tanah Air bagi Frans, situasi yang miskin dan kering. Sedangkan agama untuknya bukan ritual tapi meresap ke dalam diri pribadi menjadi sebuah keyakinan,” kata Emil dalam pidato utama peluncuran Frans Seda Award di Jakarta yang bertepatan dengan ulang tahun ke-51 Unika Atma Jaya , Rabu 1 Juni 2012 silam.

Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI