Headline News

TPDI: Puisi Sukmawati "Ibu Indonesia" adalah Ungkapan Bermakna Membanggakan Indonesia


Matakatolik.com - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus  menilai puisi Sukmawati Soekarnoputri yang berjudul " Ibu Indonesia" adalah ungkapan bermakna  membanggakan bangsa Indonesia yang hebat dengan Bhineka Tunggal Ika-nya.

Menurut Petrus, puisi Sukmawati adalah karya sastra seorang Budayawati yang sarat dengan irama atau alunan suara dengan susunan bahasanya yang nampak indah dan penuh makna.

Sebagai sebuah puisi, kata Petrus, penilaian harus dari kacamata sastra dan oleh lembaga yang berkompoten. Hal itu untuk menilai apakah puisi itu mengandung muatan dan unsur penghinaan atau tidak.

Selain itu, lanjut Petrus, penilaian ini, juga untuk mengetahui apakah terdapat unsur melawan hukum atau sebaliknya mengandung sebuah pujian dan kritik dalam konteks mengagungkan ke-Indonesiaan kita terhadap sebuah realitas sosial dalam Kebhinekaan masyarakat.

"Isi puisi tentang "Ibu Indonesia" karya cipta Sukmawati sesungguhnya hanya mengungkap fakta akan adanya dua kondisi riil yang berbeda karena berbeda akar budaya dan asal usulnya tetapi berada dalam bingkai Kebhinekaan berbangsa dan bernegara kita hingga saat ini," kata Petrus, di Jakarta, Rabu (4/4/2018).

Ia menilai, sikap beberapa pihak yang sudah melaporkan Sukmawati Soekarnoputri ke Bareskrim Polri dengan alasan puisi "Ibu Indonesia" telah menghina umat Islam, karena membandingkan "Syariat Islam" dengan "Sari Konde" dan "Suara Kidung Ibu Indonesia" dengan "Lantunan Azan", tidak apa-apa. Sebab, kata dia, itu hak hukum.

Tetapi membaca puisi "Ibu Indonesia" tidak boleh dibaca septong-sepotong dan diartikan secara "harafiah" atau secara "hitam putih", sekedar untuk merasionalkan tuduhan menghina umat Islam.

"Apa yang diungkapkan oleh Sukmawati adalah sebuah gambaran betapa bangsa Indonesia, kaya akan budaya karena memiliki sifat mau menerima budaya lain yang berbeda dan beragam," ungkap Petrus.

Ia menjelaskan, dalam konteks itu puisi "Ibu Indonesia" tidak terdapat unsur melawan hukum, karena mengungkap realitas sosial masyarakat Indonesia yang beragam, tetapi tetap satu dalam perbedaan.

"Ibu Sukmawati mengangkat realitas kondisi ke-Indonesiaan kita hari ini dengan memilih diksi "Syariat Islam" dengan "Sari Konde" di satu pihak dengan "Suara Kidung Ibu Indonesia" dengan "Lantunan Azan" di pihak yang lain yang kedua-duanya sangat puitis.

"Hal ini jelas merupakan dua hal yang berbeda secara nyata tanpa ada maksud mendiskreditkan dan menghina," tegas dia.

Petrus mencontohkan, ketika seseorang ingin membandingkan sesuatu dari yang satu terhadap yang lain, maka sudah pasti antara yang satu dengan yang lain itu berbeda. Dan, untuk memastikan perbedaan sesuatu dari yang satu terhadap yang lain, apapun itu, sangat tergantung kepada masing-masing orang dengan sudut pandang masing-masing.

Menurut Petrus, metode, para meter dan cara pandangnya sudah tentu berbeda sesuai dengan keahilan atau profesi masing-masing orang.

"Sebagai budayawati, Sukmawati melihat Indonesia secara utuh dalam konteks budaya dan keberagaman budaya yang berinteraksi secara budaya bangsa Indonesia. Ada budaya dan kebudayaan yang asli Indonesia dan ada budaya dan kebudayaan yang datang dari luar tetetapi dipraktekan dalam kehidupan bebangsa di Indonesia dengan cara masing-masing bahkan telah membudaya dan dijadikan budayanya," jelas dia.

Karena itu, kata Petrus, sulit untuk menemukan sifat melawan hukum. Sebab, kontennya adalah konten sastra yang sarat makna. Apalagi, maknanya adalah membanggakan Indonesia yang hebat.

"Hanya Sukmawati yang bisa menentukan "suasana kebathinannya" tentang apa makna dari isi puisi "Ibu Indonesia" yang oleh beberapa pihak dipandang mengandung muatan "penghinaan," ujar Petrus.

Untuk itu, kata Petrus, penyelesian yang terbaik untuk menemukan persepsi yang sama harus dalam frame budaya dan oleh lembaga yang memiliki kompetensi di bidang satra dan budaya.

Terkait dengan puisi "Ibu Indonesia" yang sudah dilaporkan atas dasar dugaan sebagai telah menghina umat Islam, maka Bareskrim Mabes Polri harus menjadi Instansi yang tepat untuk "memediasi" dan "menginisiasi" sebuah penyelesaian melalui pendekatan secara budaya yaitu budaya hukum, sesuai dengan asas-asas "Hukum Adat Ketimuran" yang berlaku.

Ervan Tou - Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI